Sumanto Qurtuby: Stop Bicara Politik Praktis di Masjid Jelang Pilpres 2019
JAKARTA – Belakangan
ini ramai pembicaraan tentang boleh-tidaknya masjid dijadikan sebagai
tempat untuk membincang masalah kepolitikan. Bagaimana menurut pendapat
Anda? Berikut opini Sumanto Qurtuby.
Jakarta, pada waktu Pilgub yang lalu, menjadi saksi bisu bagaimana masjid-masjid telah “diperkosa” dan dipolitisasi sedemikian rupa oleh “sindikat busuk” dan gerombolan para “badut” politik-agama yang haus kekuasaan
Baik yang pro maupun kontra sama-sama
menjadikan teks-teks keislaman, ayat-ayat Al-Qur’an serta Hadis dan
perilaku Nabi Muhammad SAW sebagai acuan atau “basis teologi-keagamaan”
untuk memperkuat atau melegitimasi pendapat dan argumen mereka.
Kelompok yang membolehkan misalnya
mengatakan dan mengklaim kalau dulu Nabi Muhammad SAW selalu menjadikan
masjid sebagai medium untuk membincangkan masalah kepolitikan, selain
untuk ceramah dan shalat atau sembahyang.
karena kami CINTA INDONESIA dan NKRI HARGA MATI
Saya sendiri berpendapat tidak masalah
membicarakan masalah kepolitikan di masjid. Tetapi menjadi masalah kalau
masjid dipolitisir atau dipolitisasi sedemikian rupa untuk kepentingan
politik praktis–kekuasaan dan menjadikan masjid sebagai alat untuk
menyebarkan berbagai hoaks, agitasi, fitnah, kampanye, dan propaganda
hitam untuk menjatuhkan lawan politik (meskipun sesama Muslim) dan
memecah-belah masyarakat dan umat Islam. Maka, untuk menjaga situasi
kondusif di masyarakat yang majemuk, masjid memang sebaiknya jangan
digunakan sebagai alat untuk kepentingan politik praktis. Bukan hanya
itu saja, masjid idealnya juga jangan dipakai sebagai medium untuk
menyebarkan intoleransi dan kebencian terhadap kelompok lain apalagi
terhadap sesama umat Islam itu sendiri.
Dalam sejarahnya, memang benar Nabi
Muhammad SAW menjadikan masjid sebagai tempat untuk berpolitik. Dulu,
masjid, yang secara harfiah berarti “tempat sujud” (atau tempat
bersujud/menyembah kepada Tuhan), bukan hanya tempat untuk bersujud,
shalat, berdoa, dzikir, wiridan, khotbah dan sebagainya tetapi juga
untuk kegiatan sosial, politik, pendidikan, dan kemiliteran. Masjid juga
dijadikan sebagai “tempat pengadilan” jika terjadi masalah-masalah
hukum menyangkut kaum Muslim. Dengan kata lain, masjid di zaman nabi
memiliki multifungsi dari masalah teologi-keagamaan hingga masalah
sosial-kemasyarakatan.
Kenapa begitu?
Karena dulu, masjid yang diadopsi dari
tradisi pra-Islam Nabatea dan Aram ini, adalah satu-satunya bangunan
publik yang dimiliki oleh umat Islam awal. Itupun jumlahnya cuma satu
dua. Di zaman Nabi Muhammad SAW hanya ada segelintir masjid, yaitu
Masjid Haram (Mekkah), Masjid Nabawi (Madinah), dan Masjid Quba’
(Madinah). Ada pula yang mengatakan termasuk masjid tertua adalah Masjid
Sahabat di Massawa, Eritrea, yang dipercaya sebagai masjid pertama di
Benua Afrika yang dibangun oleh para sahabat nabi untuk menghindari
persekusi yang dilakukan oleh kaum kafir Mekkah. Sejumlah sejarawan
menilai Masjid Quba’ sebagai masjid pertama yang dibangun oleh Nabi
Muhammad SAW.
Jadi, karena dulu masjid adalah
satu-satunya bangunan publik maka sangat wajar kalau semua aktivitas
nabi dan umat Islam awal dipusatkan di masjid. Dulu madrasah,
perpustakaan, pengadilan, apalagi kantor ormas dan parpol, belum ada.
Madrasah, kampus, pengadilan, dan perpustakaan baru ada di abad
pertengahan Islam di zaman kerajaan jauh setelah wafatnya Nabi Muhammad
SAW.
Selain itu, Nabi Muhammad SAW
menggunakan masjid sebagai medium berpolitik untuk memperjuangkan
kepentingan umat Islam agar mampu bertahan hidup dari gempuran kelompok
non-Muslim, khususnya di kawasan Jazirah Arab, yang memusuhi
dakwah-dakwah sosial-keagamaan Nabi Muhammad SAW. Perlu diingat, waktu
itu tidak semua kaum non-Muslim itu memusuhi Nabi Muhammad SAW. Banyak
dari mereka (karena diikat oleh solidaritas suku, kesamaan visi-misi,
atau kepentingan politik-ekonomi yang sama) yang membangun koalisi
dengan beliau melawan kaum oposan.
Hal ini tentu saja sangat kontras dengan
perkembangan mutakhir di Indonesia dimana masjid dan mushala atau
langgar digunakan untuk alat penyebaran hoaks, kampanye, dan propaganda
busuk guna memusuhi sesama umat Islam itu sendiri yang kebetulan
memiliki kepentingan politik yang berbeda dengan “rezim masjid” yang
bersekongkol dengan “rezim parpol” tertentu. Masjid bukannnya dipakai
untuk berdakwah dan memperjuangkan kesejahteraan umat Islam tetapi malah
digunakan untuk memecah-belah kaum Muslim.
Jakarta, pada waktu Pilgub yang lalu,
menjadi saksi bisu bagaimana masjid-masjid telah “diperkosa” dan
dipolitisasi sedemikian rupa oleh “sindikat busuk” dan gerombolan para
“badut” politik-agama yang haus kekuasaan. Bahkan bukan hanya di
Jakarta, virus kebusukan, kejahatan, dan politisasi masjid itu juga
menular dan menjalar di kawasan lain di Indonesia. Demi memuluskan jalan
kepentingan politik praktis kekuasaan, mereka tidak segan-segan memakai
cara-cara kotor: menyalahgunakan fungsi masjid, memanipulasi hadis,
“memperkosa” ayat, dan “menipu” Tuhan.
Dalam konteks sejarah Islam, Muawiyah
bin Abu Sofyan (W.680), pendiri Dinasti Umayah yang berbasis di
Damaskus, berserta keturunan, keluarga, teman, pemandu sorak, dan
antek-anteknya (kecuali Umar bin Abdul Aziz, W. 720) yang hobi
menggunakan dan mempolitisir fungsi masjid dengan cara-cara kotor
sebagai alat kampanye dan propaganda hitam untuk kepentingan politik
praktis kekuasaan. Oleh mereka, masjid-masjid dipakai untuk
mengkhotbahkan dan mewartakan kebusukan dan menyerang umat Islam yang
kontra dengan rezim Umayah, khususnya dari kelompok-kelompok Islam-Arab
yang menjadi “musuh bebuyutan” Bani Umayah, yaitu faksi Ali dan Bani
Hasyim.
Mengembalikan fungsi masjid
Maka, umat Islam kontemporer yang
menggunakan cara-cara busuk melalui mimbar-mimbar masjid untuk
mengegolkan atau mempertahankan kekuasaan dengan cara menyebarkan
kebencian dan caci-maki terhadap sesama umat Islam itu sendiri, pada
hakikatnya adalah “keturunan” atau “anak ideologis” dari Muawiyah dan
anaknya Yazid yang terkenal dalam sejarah Islam sebagai pemimpin bengal,
kejam, dan haus kekuasaan.
Sudah saatnya umat Islam Indonesia harus
mengembalikan fungsi masjid untuk kepentingan dakwah dan kegiatan
positif yang menyangkut hajat hidup orang banyak serta membangun spirit
toleransi di kalangan masyarakat. Sudah saatnya kaum Muslim menghentikan
membincang politik praktis di masjid yang lebih banyak membawa
kemudlaratan ketimbang kemaslahatan.
Masjid harus dijadikan sebagai “tempat
sakral” yang bebas atau steril dari kepentingan politik praktis
tertentu. Ingat, jamaah dan komunitas masjid berasal dari beragam
kelompok umat Islam, bukan melulu kaum partisan dan pendukung parpol dan
paslon tertentu. Para takmir masjid dan jajarannya perlu menyadari
pluralitas dan kompleksitas umat Islam.
Maka, demi mewujudkan kemaslahatan umat
Islam dan menjaga harmoni masyarakat yang plural dan kompleks itu, para
takmir, khotib dan pengurus masjid serta umat Islam pada umumnya wajid
hukumnya menjadikan masjid sebagai tempat pemersatu dan bukannya pemecah
belah kaum Muslim sehingga misi Islam sebagai “agama rahmat bagi alam
semesta” betul-betul terwujud di masyarakat. (SFA)
Artikel ini telah dipbulikasi di DW dengan judul “Mari Hentikan Bicara Politik Praktis di Masjid, Apalagi Jelang Pemilu 2019“
Sumber Berita : http://www.salafynews.com/sumanto-qurtuby-stop-bicara-politik-praktis-di-masjid-jelang-pilpres-2019.html
Geram Namanya Dicatut, Kapolri Sebut Bachtiar Nasir Ustadz Tidak Cerdas
JAKARTA – Kapolri
Jenderal Tito Karnavian geram terhadap sosok Ustadz Bachtiar Nasir
karena menyebutnya sebagai tokoh yang mendukung berdirinya idiologi
khilafah menggantikan sistem demokrasi di Indonesia.
Tito menceritakan kemarahannya terhadap
Bachtiar Nasir berawal dari sebuah video yang viral dikalangan kelompok
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam tayangan tersebut, Bachtiar Nasir
menyampaikan bahwa, Kapolri Tito menyebut sistem khilafah adalah hal
yang paling tepat untuk diterapkan sebagai Idiologi Indonesia.
“Kemarin komplain dengan Ustad Bachtiar
Nasir karena ada video yang viral, di tengah-tengah masyarakat kelompok
HTI. Dan menyampaikan bahwa Indonesia harus menerapkan sistem khilafah.
Karena demokrasi liberal tidak benar menghancurkan negara ini. Dan saya
berdiskusi dengan orang yang berkopeten itu, yaitu Kapolri Jenderal Tito
Profesor Doktor Tito Karnavian,” papar Tito menggambarkan isi video
tersebut di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (17/7/2018).
Baca: Reuters: Agenda Terselubung Bachtiar Nasir Sikat Etnis Cina.
Tito menegaskan, dengan adanya hal
tersebut, dirinya langsung menghubungi Bachtiar Nasir untuk melakukan
klarifikasi. Menurut Tito, penilaiannya selama ini terhadap Bachtiar
Nasir ternyata salah besar.
Dengan adanya hal tersebut, saat
ini,Tito menyatakan bahwa Bachtiar Nasir adalah sosok Ustaz yang tidak
cerdas. Mengingat, apa yang disampaikannya adalah tidak sesuai dengan
kenyataannya.
“Tapi begitu melihat kata-kata ustadz disitu, saya hilang kesan. Kesan saya Ustadz tidak cerdas yang saya lihat,” tegas Tito.
Tito menekankan, dirinya tidak pernah
menyampaikan untuk mendukung berdirinya konsep khilafah di Indonesia.
Dalam sebuah pernyataannya, Tito memang mengaku telah menyatakan bahwa
saat ini Demokrasi Liberal yang telah menjadi potensi pemecah belah
bangsa.
“Tapi saya tidak mengatakan ganti
khilafah. Tidak sama sekali tidak. Bahkan saya mengatakan khilafah
berbahaya sama kaya demokrasi liberal,” tutur mantan Kapolda Metro Jaya
itu.
Tito menjelaskan, demokrasi liberal akan
bisa diadposi oleh Indonesia ketika kelas menengah sudah besar
dibandingkan kelas kecil. Untuk saat ini, kata Tito, Demokrasi Pancasila
merupakan idiologi yang paling tepat diterapkan.
“Maka ruang kebebasan yang terlalu bebas
itu harus dipotong caranya apa. Misalnya dengan adanya Perppu tentang
Ormas kebebasan berserikat dan berkumpul,” ucap Tito.
Baca: Kupas Tuntas Hubungan Teroris dengan IHH dan IHR Milik Bachtiar Nasir.
Terkait UU Ormas, Tito mengatakan,
pemerintah bukan bersikap otoriter terhadap kebebasan berpendapat.
Melainkan, untuk menghindari adanya Ormas yang mengancam kedaulatan NKRI
dan bertentangan dengan Pancasila.
HTI sendiri merupakan organisasi pertama
yang dibubarkan Pemerintah melalui UU Ormas. Kelompok tersebut dinilai
telah bertentangan dengan Idiologi Pancasila Indonesia.
“Perppu Itu tujuannya agar memotong
orang tidak boleh bebas-sebebasnya. kalau kembali pada negara’ mohon
maaf ‘HTI’ atau siapapun ormas yang membahayakan negara sesuai dengan
prinsip-prinsip Pancasila, empat pilar bubarkan,” tutup Tito. [ARN]
Sumber Berita : https://arrahmahnews.com/2018/07/17/geram-namanya-dicatut-kapolri-sebut-bachtiar-nasir-ustadz-tidak-cerdas/
Eko Kuntadhi: Sinyal Jokowi Lawan Hegemoni Dagang AS
JAKARTA – Pegiat medsos Eko Kuntadhi memaparkan bagaimana Pakde Jokowi melawan hegemoni AS, berikut ulasannya:
“Sebenarnya menangani Trump itu gampang, mas?,” Abu Kumkum sok memberi saran. “Bilang saja, kalau AS menekan Indonesia terus, kita ancam untuk mengekspor PKS kesana. Pasti dia nyerah. Trump pasti gak mau, New York berubah jadi kayak Depok. Semrawut”. “Bener juga, ya…”.
Ketika meresmikan tol Solo-Sragen untuk
ruas Kertasura-Sragen, Jokowi menyampaikan pesan yang sebetulnya biasa
saja. Pidato yang disampaikan di pintu tol Ngemplak itu, dia meminta
agar rest area tol menjual produk lokal.
“Saya minta disetiap rest area,
jualannya bukan Mc D, bukan Kentucky, bukan Starbucks, Terus mulai
diganti sate, soto, tahu guling, gudeg,” kata Jokowi.
Kita membacanya itu adalah usaha
Presiden untuk semakin memajukan produk lokal. Oleh sebab itu dia
berharap pengusaha kuliner dari Indonesia diberi akses lebih besar
memanfaatkan keberadaan jalan tol. “Produk-produk lokal harus diberi
kesempatan agar pengusaha UMKM tidak merasa ditinggalkan dengan adanya
pembangunan infrastruktur.”
Tapi, saya melihat ada sebuah sinyal
yang disampaikan Jokowi dalam sambutannya. Lihat saja, produk makanan
asing yang disebutkan semua berasal dari AS: Kentucky Fried Chicken, Mc
Donald, dan Starbuks. Lalu dia berharap digantikan dengan produk lokal.
Kenapa Presiden harus menyebutkan produk makanan asal AS itu? Apa gak cukup dia sebutkan gerai makanan asing saja, misalnya.
Begini. Dalam laporan ‘2016 Top Markets
Report Franchising’ yang diterbitkan oleh Departemen Perdagangan AS
Indonesia berada pada urutan ke-4 dari 11 negara yang direkomendasikan
menjadi tujuan ekspor waralaba mereka. Dengan pertumbuhan omset
rata-rata 15% pertahun.
Bukan hanya itu, KFC, Mc Donald atau
Starbuck bukan cuma mewakili sebuah merk dagang. Tetapi juga bisa
dipersepsikan mewakili kepentingan bisnis AS di Indonesia. Artinya
dengan menyebut tiga merek tersebut, Jokowi ingin memberi signal bahwa
jika AS mengambil kebijakan yang merugikan kita, pemerintahan Jokowi
juga bisa mengambil langkah balasan.
Saat ini Trump memang sedang menjalankan
ekonomi AS secara protektif. Semua negara yang neraca dagang AS minus,
diperkirakan akan terkena dampaknya. Misalnya AS menaikkan tarif impor
baja dan aluminium untuk menahan laju defisit perdagangannya dengan
China.
Karena neraca perdagangan kita dengan
AS, tergolong surplus, kebijakan protektif Trump itu kemungkinan akan
diterapkan juga untuk Indonesia. AS akan menaikkan tarif impor
barang-barang asal Indonesia sehingga harganya menjadi tidak kompetitif.
Hal ini beresiko pada penurunan ekspor Indonesia.
Tapi Indonesia tampaknya bukan lagi
negara yang gemulai. Indonesia memungkinkan bereaksi yang sama jika
kebijakan AS merugikan ekonomi kita. “Kalau dia menghalangi minyak sawit
kita masuk ke Amerika, kita juga mengurangi impor kedelai dan terigu
dari Amerika Serikat. Harus begitu. Kita mengimpor kedelai, jagung,
Boeing, gandum. Pesawat saja ada berapa yang kita beli dari sana?”
katanya Wapres Jusuf Kalla.
Bukan hanya itu, Kementerian Perdagangan
sedang menyiapkan langkah lanjutan untuk melawan kenaikan pajak impor
AS, antara lain lewat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Kalau soal negoisasi bisnis, tampaknya
Indonesia bukan lagi anak kecil yang bisa diatur-atur sembarangan oleh
AS. Dulu bisa saja mereka berpersepsi begitu. Tapi kini tidak bisa lagi.
Saat ini Indonesia dipimpin oleh Jokowi yang koppig membela kepentingan
bangsanya. Indonesia bukan lagi negara minder bermental inlander.
Baru saja kemarin kita berhasil memaksa
Freeport-McMoRan untuk menandatangani perjanjian divestasi 51% saham
Freeport Indonesia. Perusahaan tambang raksasa yang selama ini mengeruk
kekayaan bumi Papua, harus merelakan saham mayoritasnya berpindah tangan
kepada pemerintah Indonesia.
“Ketika saya memerintahkan kita harus
bertahan dengan angka 51%, banyak yang menakut-nakuti saya tentang
resiko menghadapi kepentingan AS. Tapi saya terus perintahkan untuk
tetap pada pendirian. Ternyata kita bisa dan gak ada apa-apa,” ujar
Jokowi di istana Bogor, ketika saya berkesempatan berbuka puasa bersama.
Di bawah Jokowi, Indonesia kini memang
sedang membangun rasa percaya dirinya berhadapan dengan seluruh
kepentingan dunia. Jokowi bukan Presiden yang berkata, AS adalah negeri
keduanya, hanya untuk mengambil hati penguasa gedung Putih. Tapi dia
ingin menegaskan, inilah Indonesia. Sebuah negeri dengan kedaulatan dan
kemandiriannya sendiri.
“Sebenarnya menangani Trump itu gampang,
mas?,” Abu Kumkum sok memberi saran. “Bilang saja, kalau AS menekan
Indonesia terus, kita ancam untuk mengekspor PKS kesana. Pasti dia
nyerah. Trump pasti gak mau, New York berubah jadi kayak Depok.
Semrawut”. “Bener juga, ya…”. (ARN)
artikel ini sudah dipublikasi dengan judul “Sinyal Melawan AS“
Sumber Berita : https://arrahmahnews.com/2018/07/17/eko-kuntadhi-sinyal-jokowi-lawan-hegemoni-dagang-as/
Ridwan Kamil Bertekad Rubah Jabar dari Sarang Wahabi Jadi Bumi Aswaja
BANDUNG – Jawa Barat
dikenal sebagai wilayah yang banyak dihuni kelompok sumbu pendek. Bila
dibandingkan dengan daerah lain, sumbu pendek di Jabar termasuk tinggi.
Tak heran jika pada 2017 lalu Jabar disebut-sebut paling tinggi soal
radikalisme dan terorisme, serta menjadi markas Wahabi dan HTI.
Gubernur Jawa Barat terpilih Ridwan
Kamil bertekad menjadikan Jawa Barat sebagai wajah terbaik Ahlussunnah
wal Jamaah. Hal ini sampaikan Ridwan dalam rangka mengamini pinangan
kerja sama Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat KH
Hasan Nuri Hidayatullah.
Baca: Jabar Akhirnya Lepas dari Cengkeraman PKS.
“Kami bersedia bekerja sama semaksimal
mungkin menjadikan Jawa Barat adalah wajah terbaik dari Ahlussunnah wal
Jamaah,” katanya saat memberikan sambutan penutupan Kongres Kelima,
Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional Antarpondok Pesantren
Kedelapan, dan MTQ Internasional Kedua di Pondok Pesantren
Ash-Shiddiqiyah 3, Cilamaya, Karawang, Jawa Barat, Ahad (15/07/2018)
malam.
Ridwan mengaku terinspirasi meneruskan jejak kakeknya, KH Muhyidin, yang menulis kitab tentang keutamaan Aswaja.
“Tidaklah mungkin seorang cucunya yang
kebetulan Allah berikan kekuasaan tidak mengamalkan apa yang
diwasiatkan, dikarang oleh almarhum kakek saya,” katanya.
Karena itu, selama lima tahun ke depan
Ridwan Kami ingin terus berada dekat dengan para ulama agar terus
mendapatkan nasihatnya sehingga menghadirkan pemimpin yang adil,
dermawan, orang kaya, dan diijabahnya doa kaum duafa.
“Itulah rumus yang akan kita bawa selama lima tahun ke depan,” lanjutnya. [ARN]
Sumber Berita : https://arrahmahnews.com/2018/07/17/ridwan-kamil-bertekad-rubah-jabar-dari-sarang-wahabi-jadi-bumi-aswaja/
Beda Agama Bukan Masalah, Tidak Perlu ada Ajaran dan Ujaran Kebencian!
Ada pepatah yang mengatakan, “Harapan adalah tiang yang menyangga dunia” (Pliny the Elder), oleh sebab itu kita mesti punya harapan, sebab tanpa harapan apalah artinya hidup ini? With no hope, we are dying…. Maka saya pribadi masih punya harapan bahwa Indonesia akan terus hidup dalam perdamaian
Tempo
hari saya pernah membaca sebuah tulisan di surat kabar Kompas Minggu.
Pada halaman 22 ada sebuah tulisan yang menarik perhatian saya. Sebuah
tulisan resensi buku berjudul ‘Telaah Perjumpaan Islam Kristen’ karangan Prof. Hugh Goddard. Tulisan analisisnya ditulis oleh seorang sosiolog muda bernama Bernando Sujibto.
Ini
menjadi menarik oleh karena betapa banyaknya peristiwa penting dan
menarik hadir silih berganti ketika dua agama besar ini lahir, Islam dan
Kristen. Tentu saja ini tidak bermaksud menafikan agama-agama lain yang
ada di dunia ini, tapi memang kali ini telaah tersebut adalah khusus
membahas dan berfokus pada dua agama besar tersebut, yang oleh sejarah
telah dibuktikan kerap kali diperhadap-hadapkan pada dua sisi utama:
Perang dan pertikaian serta damai dan saling pengertian.
Buku
Prof Hugh ini setidaknya kembali membuka pintu dialogis yang lebih
dalam, memahami akar masalah kenapa Islam dan Kristen harus mengalami
berbagai perjumpaan, dan apapun hasil perjumpaan tersebut, maka penganut
agama masing-masing lah yang kemudian menentukan arahnya akan bermuara
ke mana.
Apakah kita mau dan mampu belajar dari
sejarah (terutama sejarah kelam dan pahit) untuk kemudian tidak
mengulanginya lagi, ataukah kita tetap memilih mengulanginya kembali
dengan semangat tidak mau berdamai apapun alasan kebenaran dibalik sikap
kita itu? Apakah kita akan lebih memilih jalan keras atau perjumpaan
dalam damai? Apakah kita akan lebih menyukai pertikaian atau memilih
jalan untuk saling mengerti satu sama lain?
Begini.
Sejak diutus sebagai seorang nabi, maka perjumpaan ajaran Muhammad
dengan orang-orang Kristen saat itu maupun kaum Yahudi setempat
rupa-rupanya telah menjadi biang kontroversi yang dahsyat di belahan
jazirah Arab, dan seakan tak pernah kunjung usai. Ada dua arus yang
sama-sama berseberangan. Nah, menurut pendapat Prof. Goddard, kedua
pandangan tersebut terlalu simplifikasi, oleh sebab itu ia berusaha
untuk menempatkan kembali sejarah perjumpaan tersebut secara bijak. Saya
sendiri sangat menghormati dan salut terhadap usaha beliau ‘meluruskan’
sejarah.
Sebagai orang ingin selalu belajar,
dalam diri saya mengalir darah pembelajar. Untuk itu jugalah maka selama
bertahun-tahun, sejak masih di Amerika saya giat mendalami sebuah
pelajaran mengenai ilmu perbandingan agama, tapi dari perspektif bukan
agama yang saya anut melainkan agama lain yang saya pelajari itu.
Namanya teologi religionum.
Seperti yang pernah
diulas oleh Dr. Andar, ilmu ini berbeda dengan ilmu religi-religi umum
yang mempelajari sejarah, ajaran dan tradisi agama-agama, oleh karena
teologi religionum memikirkan hubungan suatu agama (yang kita anut)
dengan agama-agama lain secara komprehensif, tidak sekadar dari sisi
kitanya.
Sederhananya, sampai dimana atau
sejauh mana kita meyakini bahwa Allah juga bertindak dan bersabda di
dalam agama-agama yang lain tersebut? Berbeda dengan ilmu religi-religi
umumnya, maka yang dipelajari dalam teologi religionum bukan hanya
eksistensi agama-agama lain, melainkan bagaimana kita melihat
agama-agama yang lain itu dari perspektif iman kita juga. Vice versa. Di
sini kita mempelajari apa peran positif yang bisa kita perbuat untuk
saling memahami perspektif tiap agama dan bagaimana agama-agama yang
berbeda bisa bekerja sama untuk membangun kesejahteraan umat manusia.
Tugas
agama-agama di muka bumi ini adalah untuk menghadirkan sorga di bumi.
Sorga bagi kaum miskin. Sorga bagi kaum terbuang. Sorga bagi anak-anak
terlantar dan putus sekolah. Sorga bagi mereka yang termarginalkan.
Sorga yang bisa dinikmati dan tidak hanya lahir dalam imaginasi belaka.
Ini yang harusnya diperjuangkan semua agama, bukan berlomba-lomba merasa
diri paling benar. Bukan pula mau menang sendiri, dengan cara berdiri
sendiri di atas kebenaran kemudian dengan telunjuk terangkat, menuding
yang lain itu sesat yang lain itu kafir.
Memang
betul bahwa ada begitu banyak perbedaan antara satu agama dengan agama
lainnya, dan perbedaan itu tidak untuk ditutupi, melainkan dibuka namun
dengan cara elegan serta penuh respek. Perbedaan kemudian dihormati,
dihargai dan dirayakan. Perbedaan ditempatkan sebagai sebuah kekayaan
dan keindahan.
Secara perlahan, umat manusia
pemeluk agama mulai menyadari bahwa Allah yang selama ini hanya kita
lihat dari satu perspektif saja ternyata juga bisa dilihat dari
perspektif agama lain. Kita saling menghormati perspektif masing-masing
agama dan dengan rendah hati mengakui bahwa semua agama berdiri sama
tinggi dan duduk sama rendah di hadapan Allah. Ilmu religi-religi dan
teologi religionum merupakan langkah berbeda agama untuk berjumpa dan
berdialog. Bagi saya pribadi, di sinilah awal mula perjumpaan dalam
suasana perdamaian bisa terwujud.
Pada
prakteknya saya sudah banyak sekali berjumpa pada kenyataan-kenyataan
mengharukan, di mana orang-orang dari keyakinan berbeda-beda dapat
saling tolong menolong dalam meringankan beban. Ada kawan saya yang
beragama Kristen dijagai, dibantu, dan dirawat dengan penuh perhatian
oleh tetangga sebelah rumahnya yang beragama Islam. Perbedaan itu indah
bila kita mau membuka diri dan membuka hati.
Kemuliaan
orang yang mengaku dirinya beragama paling paripurna adalah ketika ia
mampu menyalurkan sikap dan kasih Allah kepada sesamanya manusia tanpa
terlebih dahulu melihat keyakinan dan latarbelakang keimanan orang
tersebut.
Hari
ini alangkah indahnya bila kita mampu membalut luka sesama kita, walau
ia berbeda keyakinan dengan kita. Bila kita sanggup mengulurkan tangan
pertolongan tanpa melihat-lihat dulu agama apa yang tertera di KTP orang
yang hendak ditolong itu.
Tapi perjumpaan
dalam perdamaian tidak akan terwujud bila sifat dan sikap kita fanatik
membabibuta terhadap agama yang kita anut. Istilah lain dari terlalu
fanatik terhadap agama yang dianutnya disebut sebagai chauvinisme
religius, artinya kita itu cinta buta terhadap agama yang kita anut,
sehingga nurani kita benar-benar dibutakan untuk hal lain apapun.
Istilah ini diambil dari nama seorang prajurit Prancis, yaitu Nicolas
Chauvin yang taat secara membabi buta pada perintah Napoleon. Sejak itu
orang yang cinta buta terhadap negara disebut chauvinis. Demikian juga
yang fanatik dan ekstrim dalam agama disebut chauvinis religius.
Bersikap
fanatik memang kadang diperlukan, tapi harus tetap bijak. Fanatisme
yang baik itu sesungguhnya adalah ketika kita bersedia mati demi
mempertahankan keyakinan kita. Di sisi yang lain, fanatisme yang buruk
adalah ketika kita bersedia membunuh orang lain atas nama iaman dan
agama yang kita anut. Itu.
“Fanatisme
yang baik adalah ketika orang bersedia untuk mati demi mempertahankan
keyakinan imannya. Sedangkan fanatisme yang buruk adalah ketika orang
bersedia untuk membunuh demi keyakinan iman agamanya.”
Saya
ingin kita kembali ke pertanyaan dasar, yaitu apakah Islam dan Kristen
dapat berjumpa dalam perdamaian? Sangat mungkin dan sangat bisa.
Bukankah itulah yang seharusnya dipercontohkan dan dipertontonkan
Indonesia masa kini, sehingga banyak negara lain datang jauh-jauh untuk
belajar ke sini?
Kalaupun ada riak-riak
terorisme dan aliran garis keras yang membawa-bawa nama agama, itu tidak
mewakili mayoritas. Kita hanya perlu membuka diri dan membuka hati.
Ingatlah, Allah kita adalah Allah yang cinta damai. Dan saya masih
begitu yakin bahwa tidak ada satu agamapun yang tidak ingin perdamaian.
Maka, kalau Anda perhatikan ada orang-orang yang sok paling suci dan
mulia dalam beragama dan suka mengkafir-kafirkan orang lain, padahal dia
sendiri baru pindah agama seperti si Yahya Waloni dan Felix Siauw, Anda
boleh tinjau kembali apa ajaran mereka.
Bila
ada yang sibuk ngajak-ngajak untuk memerangi orang lain, mengajak angkat
bedil untuk berperang melawan siapapun yang tidak seiman, maka silahkan
Anda tinjau kembali ajaran mereka. Kalau Anda benar-benar orang
beriman, maka jangan pernah nodai keimanan Anda dengan membenci
perbedaan.
Dua agama besar ini dapat
berjumpa, bila umat dua agama besar ini mau membuka diri dan membuka
hati untuk menerima serta merayakan perbedaan. Perjumpaan dalam
perdamaian bisa terwujud bila pemuka dua agama ini juga sanggup menjaga
hati dan mulut mereka dari ajaran serta ujaran kebencian!
*Begitulah pendapat kura-kura…
Jangan pura-pura tak dengar…..
Yang bertelinga, hendaklah mereka mendengar..….
Yang punya mata, baiklah mereka membaca……..
Yang punya hati, ajaklah mereka merenungkan…..*
Sumber Opini : https://seword.com/umum/beda-agama-bukan-masalah-tidak-perlu-ada-ajaran-dan-ujaran-kebencian-B106Ttj7m
Rematch Jokowi VS Prabowo adalah Bencana
Sampai
saat ini memang belum ada deklarasi resmi Capres dan Cawapres untuk
Pilpres 2019 nanti. Walaupun waktu pendaftaran makin dekat Agustus nanti
tapi belum juga ada deklarasi. Kedua belah pihak (mungkin lebih) seakan
sedang menunggu waktu dan akan mengumumkannya ketika waktu sudah mepet.
Kebiasaan kali ya suka menunggu menit-menit akhir.
Awalnya
hanya dua tokoh yang diprediksi akan menjadi Capres yaitu Jokowi dan
Prabowo. Karena mereka berdua memiliki elektabilitas tertinggi selama
ini. Tetapi dinamika politik terus bergulir. Sekarang bergulir wacana
Capres alternatif yaitu Anies Baswedan dan Jenderal Gatot. Berbagai
pihak mengomentari tentang kemungkinan Capres dan Cawapres untuk Pilpres
nanti.
Perhelatan
Pilpres 2019 kini mulai semakin terasa, walaupun pelaksanaannya masih
tahun depan. Semarak euforia bursa capres dan cawapres kini tengah
menggema di bumi nusantara. Para partai politik dan figur publik kini
gencar mencari koalisi demi memenangkan konstestasi pilpres.
Mereka
layaknya seorang kawan yang mengajak kawan lainnya untuk mengisi
lowongan pekerjaan (kekuasaan). Nampaknya bursa capres dan cawapres
sangat memikat hati, jiwa, dan raga bagi partai politik dan tokoh
lainnya yang menginginkan kekuasaan.
Bursa
capres dan cawapres menarik untuk dicermati dalam tiga fase,
diantaranya: Pertama, fase pra bursa dilepas ke pasar. Fase ini ditandai
dengan banyaknya tokoh politik tertentu yang menjajakan dirinya dengan
lata melakukan sejumlah pengabdian reflex kepada masyarakat supaya
diliput media dan akhirnya mendapat pujian dari publik.
Mereka
giat mengunjungi daerah tertinggal, tempat kumuh, dan memberikan
bantuan sosial kepada masyarakat, namun langkah ini ditempuh sebagai
daya jual mereka kepada publik untuk masuk bursa capres dan cawapres.
Fase ini juga ditandai dengan maraknya pembuatan baju kaos dengan
tulisan tertentu yang menyerang lawan politik satu sama lain maupun
tulisan yang mempromosikan dirinya melalui baju kaos.
Bahkan
sempat terjadi insiden pada car free day di Jakarta yang menunjukkan
kita masih kanak-kanak dalam berdemokrasi. Tak hanya itu, fase ini juga
terkadang memengaruhi media sosial dengan perang cibiran dan bully-an
kepada figure tertentu.
Kedua, fase saat bursa
dilepas ke pasar. Pada fase ini ditandai dengan berbagai babak tarik
ulur antara partai politik dan para tokoh publik. Mulai bermunculan
tokoh publik mendeklarasikan diri untuk menduduki bursa capres dan
cawapres dengan dalih rakyat yang menginginkan mereka untuk maju pada
perhelatan pilpres.
Dengan mudahnya mereka
mengatasnamakan rakyat. Terlebih lagi, ada juga sebagian tokoh berharap
bisa masuk bursa capres atau cawapres dengan getol menganggap dirinyalah
yang paling tepat memimpin Indonesia. Mereka biasanya memiliki karakter
prontal dan cenderung mengutuk kegelapan yang ada di negeri ini.
Beberapa pemilik partai besar lebih memosisikan dirinya untuk bermain di
balik layar dengan mengusung figure tertentu, kelak figure tersebut
dapat memenuhi hajat pemilik partai ketika memenangkan perhelatan
pilpres.
Fase
ini juga ditandai dengan ketidakberaturannya persahabatan dan
persatuan. Kawan politik bisa seketika berubah menjadi lawan politik.
Polarisasi dan sekte-sekte politik tertentu cenderung memecah belah
persatuan. Kita tengah berada pada fase ini, maka berhati-hatilah dan
biarkanlah mereka bermain apik.
Ketiga, fase
pasca bursa dilepas ke pasar. Pada fase ini ditandai dua hal yakni
perasaan kecewa dan puas dari masyarakat. Perasaan kecewa dari
masyarakat akan terjadi jika yang menjadi capres dan cawapres adalah
mereka yang kinerjanya buruk dikala memimpin, bermalas-masalan, dan
tidak memiliki inovasi dan gagasan fresh.
Begitupun,
jika bursa ini menghasilkan capres dan cawapres yang telah diketahui
sepak tergangnya cenderung kurang baik, statis dan itu-itu saja (tidak
memberikan kejutan). Namun sebaliknya, masyarakat akan puas jika yang
diusung memiliki inovasi dan gagasan fresh, tokoh-tokoh baru yang
dianggap tidak terlalu berambisi terhadap kekuasaan. Masyarakat akan
semakin puas jika bursa capres dan cawapres berasal dari kemauan dan
usulan masyarakat secara langsung.
Kemungkinan
besar akan terjadi rematch antara Jokowi dan Prabowo. Berbagai pendapat
tentang rematch ini sangat beragama. Menurut saya sendiri kemungkinan
besar apabila terjadi rematch kemungkinan Jokowi menang lebih besar.
Tapi pendapat Haris Azhar cukup mencengangkan.
Direktur
Lokataru, Haris Azhar menuturkan jika pertarungan ulang Joko Widodo
atau Jokowi dan Prabowo Subianto terjadi di Pilpres 2019, menunjukkan
tidak ada perkembangan. Dia menuding hal itu bisa terjadi karena
permainan elite semata. Berikut pernyataannya Haris :
"Kalau
Jokowi sama Prabowo lagi kita disaster-lah (bencana). Seolah-olah kita
ini kayak tidak berkembang bangsa ini. Ini kan hanya manipulasi sejumlah
orang seolah cuma dua nama ini saja," kata Haris
Aktivis
antikorupsi itu tak sepakat hanya ada satu penantang Jokowi di 2019.
Maka dari itu dia dan beberapa tokoh lainnya melakukan uji materi Pasal
222 UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan (presidential threshold)
20 persen.
Rematch Jokowi vs Prabowo bencana? Ah
berlebihan saya kira. Bukan bencana, biasa saja itu adalah seleksi
politik dengan regulasi 20%. Justru menurut jaya kalau PT nya 0% wah itu
baru bencana. Repot. Kasihan KPU harus mengurus banyak pasangan Capres
dan Cawapres bisa belasan bahkan puluhan. Kebayang deh ribet. Asli.Sumber Opini : https://seword.com/politik/rematch-jokowi-vs-prabowo-adalah-bencana-HJGKZm2QQ
Re-Post by MigoBerita / Rabu/18072018/11.01Wita/Bjm