Migo Berita - Banjarmasin - Transparasi penggunaan Dana Bos dimasa pandemi, mungkin membaca judul ini para pembaca artikel-artikel di Migo Berita "Mengelus Dada" khususnya para Guru Honorer, karena kemungkinan besar mereka tidak akan mendapatkan yang namanya "kuota Gratis" untuk mengajar, apalagi kalau misalkan Gajih Honor juga tidak kunjung dicairkan atau Kebijakan dari tiap sekolah berbeda-beda, ada yang mencairkan Dana Kuota untuk Mengajar hingga Duit Tambahan Insentif untuk Guru Honorer dan Bahkan ada Pihak Sekolah yang malah "Tidak Mencairkan" sama sekali "Dana Kuota" dan Tambahan "Intensif Guru Honorer", sungguh miris mendengarnya.
Tapi itulah kenyataan, yang mana diperlukan keberanian seorang "Nadiem Makarim" untuk merombaknya, agar ide-ide brilliannya bisa tersampaikan kesekolah-sekolah (Guru hingga murid serta orang tua wali murid), tentu ini semua harus "Diawasi Bersama" , semisal dengan memberikan keleluasaan kepada Guru, baik itu Tingkat Pimpinan atau Kepala Sekolah/Plt hingga guru-guru ASN atau Honorer.
Misal, ketika Menteri Pendidikan memberi keleluasaan kepada tiap sekolah untuk menggunakan Dana BOS karena Dampak Covid 19 ini untuk belanja Kuota untuk Mengajar, maka ada laporan yang dimiliki setiap Guru untuk melaporkan apakah ia mendapat atau tidak.
Kemudian ketika Kebijakan Menteri Nadiem agar Dana BOS juga bisa menjadi Insentif tambahan untuk Guru Honorer selain dari BOSDA secara transparan dengan melaporkan secara online bagi tiap-tiap Guru Honor yang mendapatkan Dana Intensif tersebut, sehingga tercipta "Sinergi" yang memang seimbang antara Kementerian Dinas Pendidikan di Pusat dalam hal ini Menteri Pendidikan sendiri hingga tingkat Guru Honor.
Permisalan tersebut diatas dapat menjadi arahan atau pemetaan bagi BKN (Badan Kepegawaian Nasional) untuk menambah ASN atau tidak dan juga dapat lebih "Real" melihat uang yang dikirimkan kerekening sekolah memang tersampaikan dengan baik.
Jangan sampai, dengan hanya Laporan dari Bendahara Sekolah lewat Operator Sekolah atau Guru yang menangani Dana BOS baik itu Kepala Sekolah atau Plt ketika sudah di "Upload laporan Dana BOS" nya , lalu masalah selesai.
Akan tetapi, harus ada "Proses Verifikasi yang DETAIL" kepada tingkatan Guru ASN atau Guru Honorer yang tertulis "Menerima" aliran Dana BOS.
Semoga, Dampak Covid 19 ini menjadikan Menteri Pendidikan hingga jajaran dibawahnya menjadikan Manusia Indonesia menjadi "Orang-orang Pintar dan Beriman" untuk Negara, Bangsa dan keutuhan NKRI.
Terus "Bersinergi" antara Level paling Bawah semisal Guru Honorer, ASN, Wali Murid dan Kepala Sekolah/Plt, Bendahara, Operator Sekolah sampai Level paling Atas semisal Menteri Pendidikan.
SALURKAN, OPTIMALKAN, AWASI, CEK dan RICEK selanjutnya MINTA FEEDBACK atau tanggapan balik.
(Pic di Judul by Google Image)
Sentil Pemerintah Mengenai Pembelajaran Jarak Jauh
Dampak
Covid-19 memang adil, merata ke semua sektor, termasuk juga pendidikan.
Tetapi, perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan, khususnya
pelajar kok yah belum berasa yah. Padahal jika berbicara dampak ekonomi
dan sejumlah bantuannya, salut banget karena santer. Sayangnya, tidak
demikian dengan pelajar yang seolah dibiarkan berjalan sendirian, cukup
dengan penerapan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Boleh
dong, sebagai warga negara yang peduli penulis menyentil pemerintah,
bagaimana ini nasib pelajar? Jangan lupa, mereka generasi penerus
bangsa ini. Jangan nantinya karena Covid justru berakibat penurunan
kualitas pendidikan di tanah air.
Paham,
dan setuju banget mengutamakan hak anak, yaitu hak untuk hidup yang
menjadi pertimbangan mendasar sementara waktu ini rumah menjadi sekolah
untuk para pelajar, dan orangtua menjadi guru yang diharapkan mendukung
proses belajar mengajar. Tetapi, nggak bisa dong dilepas begitu saja,
tanpa memperhatikan apa dan bagaimana faktanya di lapangan.
Pengakuan
yang patut diapresiasi ketika Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko
menyatakan ketiadaan kontrol dari guru ke siswa menjadi kekurangan
program PJJ, dan termasuk juga pendidikan karakter yang menjadi sulit
diajarkan oleh guru, sehingga perannya harus diambil orangtua. Tanpa
itu pun sebenarnya karakter anak juga tanggungjawab orangtua. Kocaknya
mendadak banyak orangtua yang “lupa” cara mendidik anaknya. Heheh….
"Perlu
instrumen dari guru untuk menjadi alat kontrol atas pengembangan
anak-anak yang belajar dari rumah. Ilmu guru sampai apa tidak, anak di
rumah sungguh belajar atau tidak," ujar Moeldoko dalam Webinar Nasional
tentang PJJ Sebagai Role Model Pembelajaran Utama di Era New Normal,
Rabu (3/6). Dikutip dari: cnnindonesia.com
Sejujurnya
masalah yang terjadi lebih kompleks dan ribet dari itu. Sebagai
orangtua murid, inilah yang penulis temukan di lapangan:
PJJ hanyalah komunikasi searah
dimana akhirnya sama sekali tidak menjamin proses belajar mengajar
terpenuhi. Faktanya, guru datang dengan sejumlah tugas, dan anak
mengerjakan lalu hasilnya yang berupa file dikumpulkan di ketua kelas.
Pertanyaannya, bagaimana dan darimana si anak mendapatkan jawaban
sepertinya semua tutup mata. Padahal semuanya hari gini bisa dengan
mudah didapat dari comot sana sini, bertanya Mbah Google. Kenapa tidak
mencoba memberikan tugas yang lebih menggali kreatifitas, mengembangkan
potensi anak dan mengajak bereksplorasi. Kenapa juga tugas diberikan
searah dan tidak membangun komunikasi yang asik. Sebagai catatan berada
di rumah lebih dari 3 bulan untuk seorang pelajar itu seperti ditahanan
loh.
Guru tertinggal dalam teknologi
miris memang karena di era yang serba digital ternyata guru di negeri
ini masih gaptek alias gagap tekhnologi. Kehilangan kata-kata karena
ketimbang meminta muridnya mengirimkan file lewat email, menyimpan di
google drive atau memanfaatkan google classroom, justru yang dilakukan
meminta agar tugas dikirimkan ke ketua kelas? Kebayang nggak berapa
besar memori yang harus dimiliki ketua kelas yang baik hati ini? Ini
belum termasuk faktor X ketika file hilang atau kececeran karena guru
tidak siap menerima banyaknya file dari beberapa angkatan. Kembali yang
terjadi peserta didik menelan pil pahit harus mengirim ulang tugasnya.
Persoalan kuota
yang bagaikan benang kusut sulit dicari dimana ujungnya. Benar Mas
Menteri Nadiem Makarim mengatakan Dana Bos bisa digunakan untuk membeli
kuota. Tetapi, fakta, sekali lagi fakta di lapangan penyaluran kuota ke
anak menjadi beberapa versi. Kejadiannya, di sekolah swasta kuota Dana
Bos menjadi hak setiap anak, dan terorganisir dengan baik, merata semua
menerima bersamaan. Tetapi, di sekolah negeri yang terjadi kuota
diberikan hanya kepada mereka yang dianggap butuh. Itu pun
“kebijakannya” berwarna. Ok setuju, walau logikanya Dana Bos itu hak
semua peserta didik karena diperoleh dari pajak negara. Hanya saja,
setuju dan ok ini menjadi nyebelin banget karena pemberian kuota kepada
yang butuh inipun jadi cicilan yang pemberiannya seimprit-imprit nggak
jelas. Selain karena Dana Bos sendiri ngucurnya 3 bulan sekali, dan
menurut penulis ini rentan sekali dengan “permainan” nilep recehan.
Silap mata sedikit, selisih Rp 5 ribu per anak, lumayan juga jika
dikalikan 100 anak setiap bulannya.
Komputer atau laptop
yang kemudian menjadi rebutan antara peserta didik dengan tenaga
pengajar. Bak buah simalakama karena keduanya membutuhkan. Tetapi,
sangat disayangkan karena yang kerap terjadi peserta didiklah yang
mengalah tidak mendapatkan izin meminjam laptop sekolah yang dibeli dari
Dana Bos tersebut, dengan pembenaran karena guru membutuhkan untuk
mengajar virtual. Menyedihkannya, handphone pintar belum tentu dimiliki
semua peserta didik. Bukan cerita bohong, penulis sendiri mendapati
dari kejadian PJJ ini ternyata cukup banyak anak Kartu Jakarta Pintar
(KJP) yang selama ini bergantian menggunakan handphone pintar mereka
dengan orangtua atau kakak di rumah. Jadi satu handphone dikeroyok
ramai-ramai, pagi untuk si anak bersekolah, sore untuk kakaknya bekerja,
dan malam untuk digunakan orangtuanya.
Membangun komunikasi
harusnya tidak terputus dikarenakan Covid. Sejatinya, intensitas
pertemuan virtual lebih intens, jadi tidak cukup hanya lewat group di
WhatsApp. Paling tidak ini diharapkan bisa membangun karakter lewat
tutur kata. Nggak salah rasanya jika di pertemuan virtual tersebut
peserta didik menyampaikan presentasinya yang bisa dilakukan secara
singkat dan padat. Selain sebagai pembelajaran, juga komunikasi yang
merupakan bagian dari pembangunan karakter bisa sedikit terpenuhi.
Dilansir dari cnnindonesia.com
menurut survei yang melibatkan 1.700 responden siswa, dari jenjang SMA
hingga TK di 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota dengan teknik multistage
random sampling yang dilakukan dalam kurun waktu 13 April sampai 20
April 2020. Bahwa kebanyakan guru berinteraksi selama belajar dari
rumah menggunakan sarana pesan singkat atau aplikasi pesan 87,2 persen,
zoom meeting 20,2 persen, video call WhatsApp 7,6 persen dan telepon 5,2
persen. Kemudian sebanyak 79,9 persen siswa mengaku tak ada interaksi
sama sekali kecuali memberikan tugas dan menagih tugas, tanpa ada
interaksi belajar seperti tanya jawab langsung atau aktivitas guru
menjelaskan materi.
Wow…mengerikan
jika kondisi ini dibiarkan berlarut. Sejauh ini kita tidak tahu kapan
persisnya pandemi ini berakhir dan aman bagi para peserta didik kembali
ke sekolah. Tetapi, seharusnya tidak berarti ini menjadi pengorbanan
dunia pendidikan.
Pahit,
tetapi inilah potret PJJ yang terjadi. Salut dan hormat dengan para
guru yang mencoba mentransfer ilmu dengan keterbatasan pengetahuan
digitalnya. Salut juga dengan mereka para pendidik di pelosok sana yang
berjuang mendatangi murid untuk mengajar. Hal yang sama juga dengan
para pelajar yang ternyata merindukan sekolah dan ingin belajar seperti
ketika sebelum pandemi.
Sentilan
untuk pemerintah agar memperhatikan mereka yang “terabaikan” ini,
tetapi tetap mencoba bangkit dengan segala keterbatasan dan
konsekuensinya. Beberapa saran yang mungkin bisa disempurnakan adalah:
- Menyiapkan modul pembelajaran darurat yang sifatnya kreatif. Sehingga anak bukan copy paste kerjaannya Mbah Google
- Meningkatkan kemampuan guru agar tidak tertinggal dalam teknologi
- Merangsang guru untuk lebih inovatif dalam mengajar
- Menggratiskan internet bagi peserta didik
- Memberikan perhatian ketersediaan laptop
- Tetap menjalin komunikasi yang baik antara guru dan peserta didiknya
- Transparasi penggunaan Dana Bos dimasa pandemi
Ini
tugas bersama pastinya, bukan hanya guru dan peserta didik, juga
orangtua untuk mandiri mendampingi/ memantau proses belajar meskipun di
tengah badai Covid. Opini dan saran penulis, tidak salah dan berlebih
rasanya jika pemerintah lebih menaruh perhatian terhadap dunia
pendidikan. Bukan untuk dimanja, tetapi karena mereka generasi penerus
bangsa ini.
Artikel mpok lainnya bisa dinikmati di @mpokdesy
Ilustrasi: Imgur
Sumber Utama : https://seword.com/pendidikan/sentil-pemerintah-mengenai-pembelajaran-jarak-jauh-BsrBrsh2Xu
Contohlah Buya Syafii Maarif!
"Lewat sejarah, saya banyak mengenal manusia"
Buya Syafii Maarif
Salah
seorang ulama yang langka adalah Buya Syafii Maarif. Di usianya yang
menginjak 85 tahun, Buya Syafii terus menjadi pelita bagi umat yang
tercerahkan. Ketika banyak ulama atau ustadz-ustadz instan, yang bangga
dengan pangkat ke-ulama-annya, Buya tampil bersahaja, tidak tergiur
materi dan terus memberikan petuah-petuah yang bermanfaat bagi bangsa.
Pendapat
dan tuturannya jernih, tanpa embel-embal caci maki, ejekan, dan
hujatan. Padahal, pemilihan bahasa yang disebut terakhir sering
dilontarkan oleh sebagian dari mereka yang mengaku sebagai ulama.
Seakan-akan kalau tidak demikian, yakni tidak mengejek, tidak menghina
atau mencaci maki pihak yang bersebarangan, maka tidak dianggap hebat.
Batu
ujian seorang ulama adalah kasus-kasus yang menimbulkan pro dan kontra
di tengah masyarakat. Bagaimana dia menempatkan dirinya sebagai seorang
ulama, bisakah berbuat adil ? Misal pada kasus Ahok. Buya menunjukkan
kelas sebagai Guru Bangsa. Ia tidak buru-buru menghujat, mengeluarkan
kata-kata tidak layak. Sebaliknya Buya dengan pandangannya yang
bijaksana mengeluarkan pendapat bahwa Ahok tidaklah menghina Al-Qur’an
seperti sangkaan sebagian pihak. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini
mengatakan Gubernur DKI (nonaktif) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
tidak melakukan penghinaan terhadap Al-Quran terkait penyataannya saat
kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu.
Lebih
lanjut menurut Buya Syafii, akal sehatnya mengatakan bahwa Ahok bukan
orang jahat yang kemudian ditanggapi beragam oleh berbagai kalangan.
Akibat pendapatnya tentang Ahok, Buya banyak mendapat hujatan, namun tak
sedikit pula yang mendukung sikapnya. Tapi seperti yang sudah-sudah,
Buya Syafii tak bergeming dengan hujan hujatan yang menimpa dirinya.
Setelah
Ahok dipenjara, dan Anies-Sandi terpilih, Buya pun memberikan nasihat
yang sangat kontekstual. Dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) di
TVOne, Selasa, 25 April 2017 yang bertajuk “Merajut Jakarta Kembali”,
Buya berpesan agar gubernur terpilih menjaga jarak dengan ormas-ormas
radikal dan intoleran.
Di
sisi lain, Buya Syafii Maarif adalah sosok ulama konsisten yang dengan
tegas berkata “tidak” kepada intoleransi dan radikalisme. Yang menarik
adalah komentar Buya tentang keberadaan organisasi teroris semacam ISIS.
Buya memengingatkan bahwa ISIS menjadi ancaman yang bahayanya mengincar
banyak kalangan, tidak terkecuali masyarakat di Indonesia. Bahkan ia
mengatakan tidak sedikit umat yang mengira bahwa ISIS adalah kelompok
yang mewakili Islam.
“Saya
katakan kepada Presiden (Jokowi), ISIS adalah rongsokan peradaban Arab
yang kalah, (dan) ISIS adalah puncaknya. Itu ‘dibeli’ sama orang
Indonesia. Kaget dia (Presiden Joko Widodo) saya bilang begitu,” kata Buya Syafii di Istana Merdeka, Senin (17/7).
Setiap
tahun, seperti sudah menjadi ritual, menjelang Natal dan Tahun Baru,
kita banyak berpolemik tentang boleh tidaknya seorang muslim mengucapkan
selamat natal kepada rekan-rekan umat Kristiani. Lagi-lagi Buya Syafii
bijak bersikap. “Saya tiap tahun mengucapkan selamat Natal pada
sahabat-sahabat saya. Apa keberatannya? Sama saja seperti mereka
mengucapkan selamat Idul Fitri kepada kami. Biasa-biasa saja,” kata
Syafii dalam keterangannya kepada Tempo di Masjid Nogotirto, Kecamatan
Gamping, Kabupaten Sleman, Senin, 23 Desember 2019 petang.
Hari-hari
ini, di tengah pandemi covid 19 yang tidak tahu kapan ujungnya,
tiba-tiba saja diadakan webinar tentang wacana pemakzulan Presiden.
Ketika masyarakat dan pemerintah sedang berfokus bagaimana caranya
menangani musibah kemanusiaan yang sedang melanda dunia ini, namun ada
sebagian pihak yang justru “memancing di air keruh.” Buya kembali
bersuara. Ia menyayangkan beberapa kalangan yang membicarakan pemakzulan
presiden di tengah kondisi bangsa dan negara yang tengah berjuang
keluar dari masa pandemi covid-19.
Menurut
Buya Syafii, isu pemakzulan presiden yang dimunculkan oleh beberapa
orang belakangan ini hanya akan menambah beban rakyat yang tengah
menderita. Isu tersebut, kata dia, bisa memicu polarisasi dan gesekan di
masyarakat. "Kita khawatir cara-cara semacam ini akan menambah
beban rakyat yang sedang menderita dan bisa juga menimbulkan gesekan dan
polarisasi dalam masyarakat," ujar Syafii.
Keseharian
Buya Syafii mengayuh sepeda tuanya berbanding terbalik dengan
tokoh-tokoh yang menyebut diri mereka sebagai ulama. Buya mencukupkan
dirinya, maka Seperti Gus Dur, Buya Syafii adalah Guru Bangsa dan Bapak
Bangsa. Warisan terbesar mereka berdua adalah pandangan ke-Islaman yang
menyejukkan. Mereka berhasil menampakkan Islam sebagai “Rahmatan Lil’
Alamin.” Islam yang ramah, bukan Islam yang marah.
Referensi :
Sumber Foto : lokadata.ID
Dijamin Bukan Prank ... Ferdian Paleka si YouTuber "Sembako Sampah" Bebas, Bung!
Ada
kabar mengejutkan mengenai Ferdian Paleka, Youtuber yang dikabarkan
dibui gara-gara “konten sampah” yang bertujuan menaikkan jumlah subsciber
akun YouTube miliknya beberapa waktu lalu. YouTuber muda ini
dikeluarkan dari penjara usai terjadi pencabutan aduan dan laporan dari
korban, sehingga otomatis kasus prank sembako sampah tersebut dianggap
selesai.
Ferdian
Paleka pun bisa kembali menghirup udara bebas di luar penjara, dengan
dijemput oleh tim kuasa hukum dan keluarganya di Mapolrestabes Bandung
pada Kamis (4/6/20) seperti dilansir dari laman Detik.com.
Keluarnya Ferdian dari penjara juga diikuti bebasnya dua rekannya, yang juga terlibat dalam kasus yang sama, atas nama Tubagus Fahddinar dan Aidil. Kasat Reskrim Mapolrestabes Bandung, AKBP Gaiih Indragini pun membenarkan perihal bebasnya Ferdian Paleka dan dua rekannya setelah kasus ini dihentikan karena aduan dan laporan yang dicabut.
Tentu
berita bebasnya Ferdian Paleka dalam waktu yang relatif cepat ini
berpotensi menimbulkan polemik di masyarakat, terkhusus di kalangan
netizen Indonesia. Maklum, seingat saya kurang dari sebulan sejak resmi
dibui, disertai drama pelarian yang sempat dilakukan oleh Ferdian Paleka
begitu mengetahui kasusnya tak hanya viral, tetapi sudah membuatnya
berurusan dengan kepolisian.
Kondisi
yang mungkin seharusnya dapat menjadi pertimbangan untuk Ferdian Paleka
dihukum lebih berat atau lebih lama meringkuk di dalam penjara. Namun,
karena adanya pencabutan laporan dan aduan itu tadi ... polisi memang
harus melepaskan anak muda ini.
Selanjutnya,
yang menarik adalah menduga sejauh mana keinginan Ferdian Paleka untuk
kembali meramaikan khasanah per-YouTube-an di Tanah Air, seperti yang
dahulu dilakukan olehnya sebelum kasus “sembako sampah” menyeretnya ke
balik jeruji besi. Secepat apa dia akan kembali berkiprah dengan
mengupload konten baru di YouTube, juga seperti apa materi konten yang
akan dibawakannya.
Seharusnya,
pelajaran konten “sembako sampah” ini menjadi pelajaran yang sangat
berharga bagi Ferdian dan dua rekannya, agar mereka lebih berhati-hati
dalam membuat konten di YouTube. Kreativitas yang mereka miliki
seharusnya dipakai untuk menyajikan konten-konten yang lebih
berkualitas, juga berguna bagi para penikmat kontennya selama ini.
Sementara,
pada sisi lain Ferdian juga kudu berupaya keras mengembalikan pamornya
yang tentu sempat berada di titik nadir hanya karena satu konten yang
dibuat dan disebarkan tanpa memikirkan efek negatif yang muncul
gara-gara tayangan itu.
Ibarat
pepatah “Nasi sudah menjadi bubur”, kini tergantung Ferdian Paleka dan
timnya akan mengolah “bubur” tersebut menjadi seperti apa, supaya dapat
kembali menarik simpati dan minat dari para netizen untuk mengakses
konten-konten yang akan dibuatnya kelak ... jika memang dia niat kembali
berkiprah lewat YouTube.
Sementara,
untuk melengkapi berita yang mungkin mengejutkan bagi SEWORD-ers ini,
sama seperti saya juga langsung terbangun dari kasur berikut rasa kantuk
hilang gara-gara tahu Ferdian Paleka bebas ... berikut saya kutipkan
lima perwakilan komentar netizen merespons bebasnya orang muda ini dari
penjara:
”Sialan nyesel gue ikut dukung si waria supaya si ferdian ditangkap waktu itu kalau akhirnya berujung seperti ini. (Erlan martin)
”Gpp, lumayan sudah dibully di penjara, pasti jadi pelajaran buat sisa usia mereka.” (sycosid)
”Ini
prank bukan nih? Ah kecewa kita, harusnya seumur hidup sih biar nggak
ad aprank-prank lagi. Mau kasih duit ya kasih aja, mau kasih makan, ya
kasih aja, bikinlah konten berkualitas bung. Eit, saya mah bisa apa ...
paling juga ada yang komentarin komentar saya. Ais.” (Detik Reviewer)
”Mau
diterapkan pasal apa, mentok pasal perbuatan tidak menyenangkan. Secara
norma memang nggak pantes, secara hukum nggak terlalu berat.” (jamprong)
”Duit berkuasa.” (Sri Lanny)
Ups,
komentar terakhir itu singkat, padat, dan jelas . Mungkin netizen Sri
Lanny merasa ada yang janggal dengan dicabutnya laporan dan aduan,
sehingga berpikir ada semacam “uang pelicin” agar ketiga orang tadi bisa
segera keluar dari penjara.
Bagaimana dengan pendapat SEWORD-ers? Kalau saya sih ... memilih no comment ajalah ... kita lihat saja perkembangan selanjutnya. Saya lebih tertarik untuk mengusulkan, “Bro Ferdian, kalau besok-besok mau prank ... sesekali prank-lah DKI-1 biar seru. Atau minimal Fadli Zon atau Roy Suryo!” #kaloberani
Begitulah kura-kura...
Lebay! Strategi Busuk BW Melebih-Lebihkan Novel Baswedan Sudah Terbaca!!!
Saya
yakin kita semua pasti dongkol berat dengan yang namanya kasus korupsi,
suap, gratifikasi dan sebagainya yang jelas-jelas merugikan rakyat juga
negara. Sejujurnya saya sangat mendukung jika para koruptor
dimiskinkan, dicabut hak politiknya bahkan dihukum mati.
Intinya,
muak banget melihat para manusia egois dan serakah ini berkeliaran
menggerogoti negeri kita yang kaya raya. Sebab sudah bisa dipastikan,
jika Indonesia berhasil menekan praktek korupsi di tanah air, Indonesia
akan jadi negara maju yang hebat.
Atas
dasar inilah sejak awal saya sangat mendukung keberadaan KPK yang punya
tugas mulia memberantas korupsi di tanah air. Atas dasar itu jugalah
saya sangat keberatan jika KPK dipolitisasi dan digunakan untuk
tujuan-tujuan tidak baik sarat dengan kelicikan dan pembodohan
publikdemi mementingkan kepentingan pribadi dan golongan.
Kelicikan
dan pembodohan publikdemi mementingkan kepentingan pribadi dan golongan
inilah yang saya lihat sedang dimainkan oleh Bambang Widjojanto selaku
mantan Wakil Ketua KPK.
Selama
ini kita sudah tahu sama tahu bagaimana kelakuan BW. Mau pakai istilah
barisan sakit hati pembenci Jokowi, kampret atau kadrun silakan. Yang
jelas, warna BW memang sudah ketahuan sejak awal. Gerombolan BW pun
sudah bisa ditebak isinya orang-orang seperti apa. Dia lagi dia lagi kok
orangnya. Kaum menjijikkan yang tega melakukan apa saja, termasuk
menggadaikan kepentingan bangsa dan negara demi mengutamakan kepentingan
pribadi dan golongannya sendiri.
Saat
Nurhadi (mantan Sekretaris MA) tersangka kasus dugaan suap dan
gratifikasi perkara di Mahkamah Agung senilai Rp46 miliar ditangkap tim
satgas KPK pada hari Senin malam 1 Juni 2020, dengan liciknya BW
mendompleng momen ini untuk mengangkat bahkan melebih-lebihkan Novel
Baswedan dengan cara yang sangat lebay.
Kenapa kelakuan BW saya katakan sebagai strategi busuk yang norak abis??? Begini penjelasannya.
Menangkap
koruptor adalah tugas utama KPK. Semua anggota KPK dibayar mahal oleh
rakyat untuk menangkap tikus-tikus jahanam yang sangat merugikan negara.
Jadi,
jika KPK berhasil menangkap koruptor, itu memang sudah menjadi tugas
dan tanggung jawab KPK. Jika ada rasa bersyukur, gembira dan sukacita,
sudah seharusnya semua rasa itu kita tujukan untuk bangsa dan negara
yang memang sangat dirugikan akibat perbuatan para koruptor ini.
Para
anggota KPK tidak selayaknya memanfaatkan atau mendompleng moment
tertangkapnya koruptor untuk mempopulerkan namanya sendiri atau
mengangkat melebih-lebihkan seseorang lebih dari kasus penangkapan
koruptor itu sendiri.
Mengapresiasi
sah-sah saja. Tapi jangan norak di luar porsinya. Biasa aja gitu
looohhh. Toh menangkap koruptor memang sudah menjadi tugas dan tanggung
jawab KPK.
Di
sinilah kelicikan BW terbaca. Dengan lebay BW berusaha mengangkat
kembali pamor Novel Baswedan yang nyungsep drastis saat ketahuan warna
aslinya. Kampret kadrun whatever lah istilahnya.
Dengan
bangga, BW menulis di akun Twitter-nya. BW menyebutkan jika penangkapan
Nurhadi dipimpin Novel Baswedan dengan kondisi matanya yang tidak
sempurna. BW pun menyindir jika mata kanan Novel Baswedan dirampok oleh
penjahat yang "dilindungi".
“Bravo.
Binggo. Siapa Nyangka. Novel Baswedan Pimpin sendiri Operasi &
berhasil bekuk buronan KPK, Nurhadi mantan Sekjen MA di Simpruk yang
sudah lebih dari 100 hari DPO. Kendati matanya dirampok Penjahat yang
"dilindungi" tapi mata batin, integritas dan keteguhannya tetap memukau.
Ini baru keren,” tulis BW di akun Twitternya, Selasa, 2 Juni 2020.
Drama banget khan jadinya. Fokus tulisan BW jadi jatuh pada pribadi Novel Baswedan, bukan pada kinerja KPK menangkap Nurhadi.
Lagian
apa urusannya mengangkat siapa pemimpin operasi penangkapan buronan
KPK???Rakyat tak perlu tahu dan tak butuh tahu tentang itu. Yang rakyat
butuhkan adalah KPK bekerja sungguh-sungguh menangkap koruptor. Titik!!!
Memangnya
saat Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan ditangkap
KPK, adakah yang mengetahui siapakah kepala satuan tugas yang menangkap
Wahyu Setiawan???
Atau adakah yang tahu siapa anggota KPK yang memimpin operasi
penangkapan Ketua Umum PPP Romahurmuziy alias Rommy???
Ngga
ada yang tahu khan siapa kasatgasnya??? Yang memang biasa aja sih mau
dipimpin siapa. Yang penting para koruptor itu ditangkap. Itu pointnya.
Lagian,
Novel Baswedan memang pegawai KPK senior. Tak ada yang luar biasa
dengan itu semua. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron juga mengaku belum
mengetahui posisi Novel Baswedan dalam tim tersebut.
"Mas Novel ada dalam tim tersebut. Apakah dia kasatgasnya atau tidak, saya belum dapat laporan," kata Nurul Ghufron.
See…..
ngga penting-penting juga khan kasatgasnya siapa. Yang penting
Nurhadinya tertangkap.
Lucunya, siasat busuk BW melebih-lebihkan Novel Baswedan ini juga
“dimakan” mentah-mentah oleh media yang ikut-ikutan heboh menulis judul
jika pelarian Nurhadi berakhir di tangan Novel Baswedan.
Aneh khan jadinya. Yang benar adalah: pelarian Nurhadi berakhir di tangan KPK, bukan di tangan Novel Baswedan. Iya apa iya.
Dari
kejadian ini, kelicikan BW akhirnya terbongkar dengan sendirinya.
Strategi busuk BW mendramatisir mengangkat melebih-lebihkan Novel
Baswedan sudah terbaca. Strategi lebay dan norak ciri khas kaum sakit
hati. Begitulah kura-kura.
Sumber referensi:
Silakan klik link berikut untuk bisa mendapatkan artikel-artikel saya yang lainnya.
Thank you so much guys. Peace on earth as in Heaven. Amen.
Analisa: Mereka Mencoba Memprovokasi Rakyat Papua
Sebelum
kita lanjut kepada analisa: Percobaan Provokasi Terhadap Papua, maka
akan ada baiknya jika terlebih dahulu anda membaca artikel saya, Waspadai Rasisme Di Amerika, Jangan Sampai Menjalar Ke Indonesia, Perkuat Intelijen Kita.
Dalam
artikel yang saya tuliskan di atas pada Selasa, 2 Juni 2020, saya
menyarankan kepada pemerintah pusat agar lebih menguatkan peran dan
fungsi intelijen kita, agar intelijen kita bisa mempunyai kewenangan
untuk menindak. Saya juga menyarankan agar perbatasan dan pintu masuk
(bandara internasional dan pelabuhan) ke negara kita mulai diperketat
penjagaannya setelah ada kerusuhan di Amerika karena kasus rasisme.
Ada
beberapa faktor yang membuat saya secara sungguh-sungguh meminta
perhatian dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, dan aparat
keamanan agar lebih waspada terhadap infiltrasi dan sabotase oleh proxy
intelijen asing yang menargetkan terganggunya kamtibmas di dalam
Indonesia, khususnya di Papua.
Berikut analisa saya:
Pertama. Pada hari Senin, 1 Juni 2020, beberapa orang yang mengaku sebagai aktivis Papua dan dengan dibantu oleh Veronica Koman (orang yang diburu oleh Polri) memberikan pernyataan di sebuah website dengan memberikan judul Aktivis: Kasus George Floyd di AS Tak Beda Jauh dengan Rasisme Papua (link terlampir).
Dalam
artikel berita tersebut, Veronika Koman secara sangat agitatif dan
provokatif memberikan pernyataan dengan memperbandingkan antara kasus
rasisme di Amerika Serikat yang disebabkan karena kematian George Floyd dengan kasus pengepungan asrama Papua di Yogyakarta pada tahun 2016 dan di Surabaya pada tahun 2019.
Saya
sebenarnya heran, kenapa kekuatan intelijen kita sepertinya tidak bisa
menjangkau seorang Veronika Koman? Kita semua sudah tahu bahwa
Australia adalah sekutu dari Amerika, bahkan dalam kasus lepasnya
Timor-Timur dari Indonesia dulu Australia juga ikut main-main di
dalamnya. Lepasnya Timor-Timur dari pangkuan Ibu Pertiwi dulu salah
satunya juga karena kelakuan dan kelicikan dari Australia. Sekarang
Veronika Koman ada di Australia, dan Veronika Koman gencar menggaungkan
isu hoax tentang Papua, pasti ada benang merah dari semua hal ini.
Kedua. Pada hari Rabu, 3 Juni 2020, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam berita yang diunggah oleh Kompas memberikan pernyataan yang diberi judul Amnesty: Rasialisme Tak Cuma di AS, tetapi Juga Menimpa Masyarakat Papua (link terlampir).
Narasi
yang dibangun oleh Usman Hamid dalam artikel berita yang diunggah oleh
Kompas tersebut adalah sama dengan narasi yang digembar-gemborkan oleh
veronika Koman dalam artikel berita sebelumnya yang telah diunggah oleh
sebuah website berita pada hari Senin, 1 Juni 2020.
Saya pernah menuliskan sebuah artikel tentang Usman Hamid dan Amnesty International Indonesia pada bulan April 2020 lalu yang ketika itu dia mengkritik tentang Telegram Kapolri Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020. Artikel itu berjudul Logika Sesat Amnesty International Indonesia, ada baiknya anda membaca artikel saya tersebut agar bisa sedikit tahu dan paham tentang Amnesty International Indonesia.
Ketiga.
Tempo dan CNN diduga telah dengan sengaja melakukan framing hitam
kepada Presiden Joko Widodo mengenai putusan PTUN tentang perlambatan
internet yang terjadi pada Agustus 2019 yang lalu di Papua. Dalam amar
putusan PTUN tersebut tidak dituliskan bahwa tergugat harus meminta
maaf, tetapi oleh Tempo berita tersebut dipelintir dengan menggunakan
judul “PTUN Hukum Jokowi Minta Maaf Terbuka Akibat Blokir Internet
Papua”. Walaupun judul tersebut sudah diganti oleh Tempo menjadi
“Penggugat Pemblokiran Internet Papua Minta Pemerintah Minta maaf”,
tetapi jejak digital tidak akan pernah hilang. Jelas sudah bahwa Tempo
telah melakukan hoax terhadap Presiden Joko Widodo.
Sedangkan untuk artikel berita di CNN dengan judul PTUN Perintahkan Jokowi Minta Maaf Blokir Internet Papua sudah tidak bisa lagi dibuka, alias sudah di hapus. Tempo dan CNN sama begonya!
Dari
berita hoax yang telah dibuat oleh Tempo dan CNN tersebut jelas
terlihat bahwa ada skenario sistematis yang sedang coba dilancarkan
untuk membuat provokasi terhadap rakyat Papua melalui putusan PTUN
tersebut. Framing hitam kepada Presiden Joko Widodo sudah
terang-terangan dilakukan oleh dua media abal-abal tersebut.
Saya
berharap seluruh alat negara, baik itu BIN, Polri dan TNI agar
meningkatkan kewaspadaan mengenai isu rasisme yang terjadi di Amerika,
karena berdasarkan data-data yang ada, kuat dugaan bahwa rasisme di
Amerika tersebut kemungkinan besar akan “diimpor” ke Indonesia untuk
memprovokasi rakyat Papua.
Dan
kepada seluruh saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang ada di
Papua, saya mohon agar tidak mudah terprovokasi oleh berita-berita hoax
yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya, seperti
berita-berita yang sudah saya uraikan di atas.
Papua adalah Indonesia, kita adalah saudara, saudara sebangsa dan setanah air.
Sekian.
Jayalah Indonesiaku.
Merdeka!
Lampiran:
https://www.suara.com/news/2020/06/01/075544/aktivis-kasus-george-floyd-di-as-tak-beda-jauh-dengan-rasisme-papua
https://nasional.kompas.com/read/2020/06/03/15323741/amnesty-rasialisme-tak-cuma-di-as-tetapi-juga-menimpa-masyarakat-papua