» » » » WASPADA Generasi Teroris "Berbaju Agama" .. !!!!!

WASPADA Generasi Teroris "Berbaju Agama" .. !!!!!

Penulis By on Kamis, 18 November 2021 | No comments

Migo Berita - Banjarmasin - WASPADA Generasi Teroris "Berbaju Agama" .. !!!!! Kalau sekedar AHLI IBADAH ...IBLIS itu AHLI IBADAH, Kalau sekedar Hafal AL-QUR'AN, Abdurrahman Bin Muljam SANG PEMBUNUH juga HAFAL AL QUR'AN, Kalau Sekedar Berserban dan Berjenggot, ABU JAHAL PEMBENCI Nabi juga Berserban dan Berjenggot, Kalau sekedar NGAKU Keluarga Nabi, ABU LAHAB pembenci Nabi pun NGAKU keluarga Nabi, Kalau sekedar Berjilbab, HINDUN pemakan Jantung Sayidina HAMZAH pun berJilbab..Kalau sekedar Beragama , Hampir semua orang Ngaku Beragama.. Tapi VISI MISI Nabi Muhammad BUKAN ITU semata, Melainkan membuat semua manusia Saling Mengasihi dan Cinta Kasih terhadap semua Makhluk Ciptaan ALLAH serta berusaha terus untuk MENGGAPAI AKHLAK MULIA sesuai Keinginan ALLAH dan Rasul-Nya.

KETIKA PEMBENARAN DAN MERASA PALING BENAR ADA MERAKSUK PADA DIRI IBNU MULJAM

PERISTIWA ROMADHON YANG MEMILUKAN

“Hukum itu milik Alloh, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.”

Itulah teriakan Abdurrohman bin Muljam Al Murodi (Khowarij) ketika menebas tubuh Sayyidina Ali bin Abi Tholib, _karomallohu wajhah_ pada saat bangkit dari sujud sholat Shubuh pada 19 Romadlon 40 H itu.

Abdurrohman bin Muljam menebas tubuh Sayyidina Ali bin Abi Tholib dengan pedang yang sudah dilumuri racun yang dahsyat. Racun itu dibelinya seharga 1000 Dinar.
Tubuh Sayyidina Ali bin Abi Tholib mengalami luka parah, tapi beliau masih sedikit bisa bertahan. 3 hari berikutnya (21 Romadlon 40 H) nyawa sahabat yang telah dijamin oleh Rosululloh SAW menjadi penghuni surga itu hilang di tangan seorang muslim yang selalu merasa paling Islam.

Sayyidina Ali dibunuh setelah dikafirkan.
Sayyidina Ali dibunuh setelah dituduh tidak menegakkan hukum Alloh.

Sayyidina Ali dibunuh atas nama hukum Alloh.
Itulah kebodohan dan kesesatan orang Khowarij yang saat ini masih ngetrend ditiru oleh sebagian umat muslim.

Tidak berhenti sampai di situ, saat melakukan aksinya Ibnu Muljam juga tidak berhenti membaca Surat _Al Baqarah_ ayat 207 sebagai pembenar perbuatannya:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
_
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridloan Alloh; dan Alloh Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”_

Maka sebagai hukuman atas kejahatannya membunuh kholifah Ali, Ibnu Muljam kemudian dieksekusi mati dengan cara _qishos_ . Proses hukuman mati yang dijalankan terhadap Ibnu Muljam juga berlangsung dengan penuh dramatis. Saat tubuhnya diikat untuk dipenggal kepalanya dia masih sempat berpesan kepada algojo:

_“Wahai Algojo, janganlah engkau penggal kepalaku sekaligus. Tetapi potonglah anggota tubuhku sedikit demi sedikit hingga aku bisa menyaksikan anggota tubuhku disiksa di jalan Alloh.”_

Ibnu Muljam meyakini dengan sepenuh hati bahwa aksinya membunuh suami _Sayyidah_ Fathimah, sepupu Rosululloh, dan ayah dari Sayyid Al-Hasan dan Al-Husein itu adalah sebuah aksi _jihad fi sabilillah._

Seorang ahli surga meregang nyawa di tangan seorang muslim yang meyakini aksinya itu adalah di jalan kebenaran demi meraih surga Alloh.

Potret Ibnu Muljam adalah realita yang terjadi pada sebagian umat Islam di era modern. Generasi pemuda yang mewarisi Ibnu Muljam itu giat memprovokasikan untuk berjihad di jalan Alloh dengan cara memerangi, dan bahkan membunuh nyawa sesama kaum muslimin.

Siapa sebenarnya Ibnu Muljam? Dia adalah lelaki yang sholih, zahid , beriman dan mendapat julukan Al-Muqri’ (ahli ibadah). Sang pencabut nyawa Sayyidina Ali itu seorang hafidz (penghafal Al qur'an) dan sekaligus orang yang mendorong sesama muslim untuk menghafalkan kitab suci tersebut.

Kholifah Umar bin Khottob pernah menugaskan Ibnu Muljam ke Mesir untuk memenuhi permohonan ‘Amr bin ‘Ash untuk mengajarkan hafalan Alquran kepada penduduk negeri piramida itu. Dalam pernyataannya, Kholifah Umar bin Khottob bahkan menyatakan :
“Abdurrohman bin Muljam, salah seorang ahli Alquran yang aku prioritaskan untukmu ketimbang untuk diriku sendiri. Jika ia telah datang kepadamu maka siapkan rumah untuknya untuk mengajarkan Alquran kepada kaum muslimin dan muliakanlah ia wahai ‘Amr bin ‘Ash” kata Umar.

Meskipun Ibnu Muljam hafal Alquran, bertaqwa dan rajin beribadah, tapi semua itu tidak bermanfaat baginya. Ia mati dalam kondisi su’ul khotimah, tidak membawa iman dan Islam akibat kedangkalan ilmu agama yang dimilikinya. Afiliasinya kepada sekte Khowarij telah membawanya terjebak dalam pemahaman Islam yang sempit. Ibnu Muljam menetapkan klaim terhadap surga Alloh dengan sangat tergesa-gesa dan dangkal. Sehingga dia dengan sembrono melakukan aksi-aksi yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama Islam. Alangkah menyedihkan karena aksi itu diklaim dalam rangka membela agama Alloh dan Rosululloh.

Sadarkah kita bahwa saat ini telah lahir generasi-generasi baru Ibnu Muljam yang bergerak secara massif dan terstruktur. Mereka adalah kalangan shoeh yang menyuarakan syariat dan pembebasan umat Islam dari kesesatan. Mereka menawarkan jalan kebenaran menuju surga Alloh dengan cara mengkafirkan sesama muslim. Ibnu Muljam gaya baru ini lahir dan bergerak secara berkelompok untuk meracuni generasi-generasi muda Indonesia. Sehingga mereka dengan mudah mengkafirkan sesama muslim, mereka dengan enteng menyesatkan kiyai dan ulama.

Raut wajah mereka memancarkan kesalehan yang bahkan tampak pada bekas sujud di dahi. Mereka senantiasa membaca Alquran di waktu siang dan malam. Namun sesungguhnya mereka adalah kelompok yang merugi. Rasulullah dalam sebuah hadits telah meramalkan kelahiran generasi Ibnu Muljam ini:

"Akan muncul suatu kaum dari umatku yang pandai membaca Alquran dengan lisan mereka tetapi tidak melewati tenggorokan mereka, mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya." (Shohih Muslim, hadits No.1068)

Kebodohan mengakibatkan mereka merasa berjuang membela kepentingan agama Islam padahal hakikatnya mereka sedang memerangi Islam dan kaum muslimin.

Wahai kaum muslimin, waspadalah pada gerakan generasi Ibnu Muljam. Mari kita siapkan generasi muda kita agar tidak diracuni oleh golongan Ibnu Muljam gaya baru. Islam itu agama _Rohmatan Lil Alamin_ . Islam itu agama keselamatan. Islam itu merangkul, dan bukan memukul. _Ihdinashshirothol mustaqim._

Sumber Utama : http://fitnahfitnahakhirzaman.blogspot.com/2018/07/ketika-pembenaran-dan-merasa-paling.html

Bukan Erick dan Luhut, Ini Dia Pemain Besar di Pusaran Bisnis PCR!

Belakangan ini publik dikejutkan dengan berita kompor dari media tempe yang mengungkit keterlibatan dua menteri Jokowi di pusaran bisnis PCR. Namun, gilanya media tempe pula yang menutup keterlibatan pihak lain yang jelas-jelas menjadi pemain besar. Mengutip pernyataan Arya Sinulingga, PT GSI yang dikaitkan dengan PCR ternyata hanya mengambil 2,5 persen dari porsi keseluruhan. Lantas yang lainnya ke mana?

Akhirnya kita baru tahu kalau memang ada skenario pembunuhan karakter jahat pada dua menteri Jokowi. Makanya saya menahan diri tak berkomentar awal munculnya isu ini. Jangan samakan dengan kasus stafsus milenial yang mengundurkan diri lantaran ketahuan ikut proyek kartu pra kerja, karena jelas di sana ia adalah CEOnya. Sangat berbeda dengan kasus PCR. Meski kadang ada kebijakan Erick dan Luhut yang tak bisa diterima akal, tapi kita tak boleh memberi penilaian subyektif apalagi bermodal data media tempe.

Sebelumnya diberitakan bahwa Bisnis tes Polymerase Chain Reaction atau PCR menjamur di tengah pandemi Covid-19. Perusahaan penyedia tes PCR ini menangguk keuntungan yang tak sedikit.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Katadata.co.id, perusahaan besar tes PCR menjalankan skema bisnis kerja sama dengan pemerintah atau memberikan layanan umum secara mandiri.

Dalam catatan Katadata.co.id, ada dua perusahaan besar yang menjalankan bisnis melalui skema kerja sama dengan pemerintah, yakni PT Daya Dinamika Sarana Medika (DDSM) dan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI).

Adapun perusahaan-perusahaan besar tes PCR yang menyasar kalangan umum di antaranya Bumame Farmasi yang dikelola PT Budimanmaju Megah Farmasi, SwabAja, dan Quicktest.

Direktur Business Development DDSM Wahyu Prabowo mengakui sebagian besar klien mereka merupakan pemerintah. DDSM semula dimiliki oleh Yayasan Dompet Dhuafa, tetapi mereka kemudian membuat entitas bisnis sendiri.

Sejak awal pandemi Covid-19 pada Maret 2020, DDSM diminta pemerintah untuk membantu dalam test sampel Covid-19. Awalnya DSDM hanya memiliki satu laboratorium, yang terus berkembang hingga kini memiliki tujuh laboratorium.

Wahyu menggambarkan pada saat kasus naik menjelang akhir 2020, DDSM menerima sampel sekitar 65 ribu per hari dari pemerintah. Mereka menerima sampel dari berbagai puskesmas.

Jumlah tes sampel yang dikirim menyusut seiring dengan penurunan kasus Covid-19. Kini, DDSM menerima permintaan uji sampel sekitar 4.500 per hari. "Bagi kami mengambil untung Rp 45 ribu juga sudah alhamdulilah. Kuota kami besar, jadi tetap untung," ujar Wahyu.

Wahyu mengatakan selain DSDM, perusahaan tes PCR yang kerap bekerja sama dengan pemerintah adalah PT GSI. GSI tengah ramai diperbincangkan karena kedekatannya dengan dua pejabat pemerintah yakni Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir.

Baik Luhut maupun Erick sudah membantah keras jika mereka mengambil keuntungan melalui bisnis tes PCR. PT GSI yang diinisiasi oleh perusahaan yang terkait dengan mereka yakni PT Adaro Energy dan PT Toba Bumi Energi.

Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga memaparkan dari jumlah total tes PCR yang mencapai 28,4 juta, PT GSI hanya melakukan tes sebanyak 700 ribu. "Jadi kalau dikatakan bermain, kan lucu ya, 2,5% gitu. Kalau mencapai 30%, 50% itu oke lah bisa dikatakan bahwa GSI ini ada bermain-main," ujarnya.

Arya mengatakan, Yayasan Adaro yang dikaitkan dengan Erick Thohir hanya memegang saham 6% di GSI. Menurutnya, sangat minim perannya di tes PCR. Arya juga bilang, sejak jadi menteri, Erick Thohir tidak lagi aktif di urusan bisnis dan yayasan itu.

Selain DSDM dan GSI, perusahaan-perusahaan tes PCR lain menyasar konsumen dari kalangan masyarakat umum. Salah satunya SwabAja yang dimiliki oleh Erwin Aksa, pengusaha yang juga menjabat Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin).

Saat ini Swab Aja memiliki 33 outlet yang tersebar mulai dari Jakarta, Makassar, Batam, Bali, Yogyakarta, Surabaya, hingga Semarang.

Erwin Aksa mengatakan berdirinya Swab Aja dilatarbelakangi kebutuhan tes internal Grup Bosowa yang dimiliki ayahnya, Aksa Mahmud. “Kami memiliki ribuan karyawan yang tersebar di berbagai daerah. Kami membutuhkan screening tes PCR karyawan itu tiap minggu,” kata Erwin kepada Katadata.co.id.

Kemudian, Erwin melihat ada peluang bisnis dari tes PCR karena ketika itu jumlah pemeriksaan dan fasilitasnya masih minim. Kebutuhan masyarakat pun sangat tinggi. “Jadi deteksi bisa dilakukan di seluruh daerah,” katanya.

Erwin juga yakin kebutuhan PCR tak akan berkurang meski pandemi tengah surut. Ini lantaran tes serupa diperlukan untuk banyak deteksi penyakit, seperti Tuberkulosis hingga kanker. “Bahkan bisa digunakan industri makanan dan minuman untuk tes makanan halal karena bisa memeriksa DNA babi. Jadi bisa multipurpose,” katanya.

Perusahaan yang berbisnis tes PCR lainnya adalalah Bumame Farmasi. Perusahaan tes PCR ini memiliki 41 cabang yang tersebar dari Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Malang, Palembang, Yogyakarta dan Bali.

Mayoritas saham PT Budimanmaju Farmasi dimiliki oleh PT Bumame Jakarta Indonesia. Adapun pemilik mayoritas Bumame Jakarta adalah pengusaha Jack Budiman.

Selain pemain besar tersebut, ada juga PT Quicktest Laboratorium Indonesia yang merupakan lab milik Avisha Group.

Pemiliknya adalah Irawati Muklas. Ia membangun kerajaan bisnisnya Avisha Group pada 2002 saat masih berusia 26 tahun. Perusahaan ini bergerak di bidang sumber daya manusia dan tenaga alih daya (outsourcing).

Saat pandemi Covid-19 masuk Indonesia, bisnis Avisha ikut terpukul. Namun, Ira justru melihat peluang baru. Pada 18 Februari 2021, ia menggandeng dokter muda Haekal Anshari mendirikan lini bisnis layanan kesehatan.

Lini usaha baru itu menggunakan bendera PT Quicktest Laboratorium Indonesia yang berbasis di Tebet, Jakarta Selatan. Dalam situs perusahaan disebutkan perusahaan menyediakan layanan swab PCR, swab antigen, rapid test, dan tes isothermal.

Hanya dalam beberapa bulan, brand Quicktest berkembang pesat. Saat ini perusahaan sudah memiliki 28 cabang di kawasan di Jabodetabek. Saat awal berdiri, Quicktest mematok harga Rp 700.000 untuk swab PCR dengan hasil 24 jam dan Rp 180.000 untuk swab antigen.

Irawati mengatakan, kala itu Quicktest bisa melayani lebih dari 500 sampel per hari. “Selain masyarakat umum, segmen pasar yang dibidik Quicktest adalah klaster perkantoran,” ujarnya, Maret silam, dikutip dari Antara.

Dari berita ini jelas bisa mengungkapkan siapa saja yang terlibat langsung dan melihat peluang bisnis dibalik pengadaan PCR. Jadi bisa kita analisa bahwa permintaan Jokowi meminta penurunan harga PCR membuat panas beberapa pihak. Termasuk yang sudah punya pangsa pasar dan cakupannya di atas 25 persen. Entah kenapa media tempe tak mengulas keterlibatan mereka semua? Atau memang sengaja media tersebut dibayar untuk menjatuhkan dua nama dampak dari penurunan harga PCR?

Masyarakat harus bisa berpikir kritis dan terus mencari tahu seluk beluk sesungguhnya. Karena kalau tidak kritis, bisa jadi kemarin kita yang menjadi pengkitik media tempe, kini malah ikut terprovokasi dan jadi obor mereka. Ulasan keterlibatan Bosowa dan Dompet Dhuafa juga sempat dibahas akun digeeembok. Beruntungnya sudah ada media katadata yang memberi ulasan lebih detail lagi. Jadi kita tahu siapa yang bermain di sini dan siapa media yang ditunjuk jadi provokator utama.

Sumber Utama : https://seword.com/politik/bukan-erick-dan-luhut-ini-dia-pemain-besar-di-2oiVwwvT2Y

Ibnu Muljam, Khawarij Hafiz Qur'an yang Membunuh Sayyidina Ali


Oleh Rizal Mumazziq Z.

DutaIslam.Com - Sang Pintu Ilmu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, suatu ketika didemo secara pribadi oleh seorang rakyatnya.
"Dulu, di zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman (radliyAllahu anhum) kondisi negara stabil. Kini, di era engkau menjadi pemimpin, kondisinya tidak stabil." Ada protes terselubung dalam statemen rakyat ini. Sayyidina Ali tersenyum.

"Pada masa beliau bertiga itu," kata Ali, "yang dipimpin adalah orang-orang macam aku, sedangkan sekarang ini yang kupimpin adalah orang-orang macam kamu!!”

Beda zaman, beda tindakan. Beda era, beda pula reaksi atas sebuah kejadian. Di era kepemimpinan menantu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tersebut, daerah kekuasaan Islam bertambah luas. Para sahabat Rasulullah juga banyak yang sudah bermigrasi ke kawasan lain. 

Selain dikelilingi sahabatnya yang loyal, Sayyidina Ali juga dikerubuti orang-orang aneh;  sekelompok orang dengan jalan pikiran ekstrem. Mereka bergabung dengan kubu Sayyidina Ali, lalu keluar dari barisan manakala menantu Rasulullah itu memutuskan gencatan senjata dengan kubu Muawiyah bin Abi Sufyan r.a.

Cinta kepada Sang Pintu Ilmu berubah menjadi benci. Mereka menyolidkan diri menjadi sebuah gerakan oposisi ekstrem. Pernah, suatu waktu, Abdullah ibn Abbas diperintah oleh Ali mengintai keseharian kelompok yang memiliki semboyan La Hukma Illa Lillah itu. Putra Abbas bin Abdul Muthalib r.a takjub dengan keseharian mereka: puasa di siang hari, ibadah di malam hari. Toh, meski demikian, sikap mereka keras.

Ali, suami Fathimah az-Zahra, yang mendapatkan laporan Ibnu Abbas radliyallahu anhuma, sontak menyahut mendengar semboyan La Hukma Illa Lillah. Kalimat benar yang dipakai untuk tujuan batil!, sahut Ali. Pada 17 Ramadan, tanggal mulia yang masyhur dikenal sebagai peristiwa Nuzulul Qur'an, tanggal yang juga dikenang sebagai tonggak kemenangan kaum muslimin dalam Perang Badar, adalah tanggal di mana Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah ditikam pada subuh menjelang shalat. (Riwayat lain menulis 19 Ramadan). 

Penikamnya orang kafir? Bukan. Dia adalah Abdurrahman ibn Muljam. Sosok yang menghabiskan waktu di siang hari dengan berpuasa, malam hari dengan qiyamul lail, dan konon hafal al-Qur'an. Kawan Ibn Muljam lainnya bertugas membunuh Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan dan Sayyidina Amr bin Ash Radliyallahu 'anhuma.

Jika kedua shahabat ini lolos, maka tidak dengan Sang Pintu Ilmu. Beliau justru gugur di tangan pembunuh yang meneriakkan “Tidak ada hukum kecuali milik Allah, bukan milikmu dan bukan milik teman-temanmu, hai Ali!” sembari menikam tubuh menantu Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

Ketika ditangkap, Ibnu Muljam berteriak meronta sembari mengutip firman Allah: “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya.” (Al-Baqarah: 207).

Pada waktu mulia, subuh; pada hari yang paling mulia, Jum'at; pada bulan yang mulia, Ramadan; seorang ekstremis fanatik mengutip firman mulia pada saat melakukan tindakan terkutuk terhadap manusia mulia, Ali. [dutaislam.com/ab]

Anwar Abbas Dalam Pusaran Jaringan Terorisme

Pasca tuntutan masyarakat yang semakin masif agar pemerintah membubarkan MUI, Anwar Abbas berbalik meminta Republik Indonesia juga dibubarkan.

"Kalau misalnya atas dasar itu (ada ulama dari MUI yang diduga terlibat jaringan teroris Jamaah Islamiyah) mereka minta (MUI) dibubarkan, maka saya minta Republik Indonesia dibubarkan. Saya hanya mengikuti logika mereka yang meminta supaya MUI dibubarkan," ujar Anwar Abbas.

Statementnya itu sudah terang-terangan melawan negara. Semoga ada ketegasan dari aparat agar siapapun yang menginginkan negara ini bubar agar segera ditangkap.

Tentu saja kita semua menolak apapun jenis terorisme dalam segala bentuk. Prilaku najis para teroris itu yang menjual diri dengan membantai bangsa sendiri adalah kutukan bagi bangsa ini.

Kebebasan individu adalah urusan manusia itu sendiri, bukan urusan iblis. Sebab, dengan dalih apapun juga, aksi mereka-mereka di MUI yang terlibat dalam jaringan terorisme itu lebih sadis dari Genosid Hitler dan Musolini.

Fakta membuktikan bahwa MUI telah disusupi jaringan kejahatan terorisme, maka tidak salah jika mayoritas rakyat Indonesia menuntut pemerintah Indonesia membubarkan MUI.

Selain tidak memberikan manfaat bagi bangsa Indonesia, MUI juga terbukti telah terpapar radikalisme, intoleran dan khilafah transnasional. Apa yang bisa diharapkam dari lembaga tukang stempel halal haram jaddah ini?

Bagaimana mungkin pabrik fatwa itu memproduksi fatwa-fatwa dimana salah satu dari mereka terlibat jaringan terorisme? Ini mengerikan, tapi itu fakta sahih yang telah terjadi. Harusnya MUI membuat fatwa haram kejahatan terorisme. Bukan membelanya dan bahkan merekrut jaringan terorisme menjadi anggota MUI.

Jaringan terorisme di organisasi keagamaan apapun harus ditumpas dengan tangan besi pemerintah, dengan demikian maka libido kebodohan akut mereka yang memperkosa kedaulatan NKRI dapat segera dibasmi dan ditumpas sampai ke akar-akarnya hingga tak tersisa.

Pokoknya segala bentuk indikasi aksi terorisme, jangan tunda-tunda lagi, segera basmi. Contohnya si Anwar Abbas ini. Saya curiga orang ini juga terlibat dalam aksi terorisme. Mungkin Densus 88 Antiteror Polri sedang mendalami orang ini. Kita tunggu saja.

Anwar Abbas ini selalu berseberangan dengan pemerintah, khususnya terhadap Presiden Jokowi. Tua bangka ini menciptakan framing dan narasi sesat seolah-olah Presiden Jokowi itu memusuhi Islam dan Ulama. Ia kerap menyinyiri berbagai kebijakan pemerintah dengan berbagai modus pemelintiran fakta.

Manusia satu ini bahkan mencampuri kewenangan Presiden yang memilih Kapolri dari kalangan non muslim. Ini salah satu bentuk fanatik akut yang telah meyesatkan alam bawah sadar dalam otak pak tua ini.

Sehingga wajar masyarakat luas menilai bahwa sepak terjang sosok Anwar Abbas di MUI selama ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Berbagai pernyataannya yang menyesatkan itu sudah sangat meresahkan dan membahayakan kedaulatan NKRI.

Saat Densus 88 menyita ratusan kotak amal teroris, Anwar Abbas mengecam keras dan mengalihkannya ke kasus KKB di Papua. Saat penangkapan Farid Okbah oleh Densus 88 Antiteror Polri, Anwar Abbas juga tak luput membelanya.

Dengan keterlibatan tokoh MUI dalam jaringan terorisme, bukan tidak mungkin Anwar Abbas ini juga terlibat satu dedengkot dengan anggota MUI Ahmad Zain yang telah ditangkap Densus 88 Antiteror Polri.

Para jaringan terorisme rata-rata adalah Muslim yang taat agama. Mereka lahir dari rahim rasisme akibat mengadopsi paham salafisme, mengambil alih konsep Al-Qaeda demi kekhalifahan.

Sebagai bukti ketaatan mereka kepada agama, maka mereka mengajarkan umat Islam untuk mengenakan sabuk berisi bahan peledak untuk membunuh orang tak beriman sebagai bagian dari ibadah.

Mereka juga pandai mencari dana untuk pendanaan aksi terorisme melalui ratusan kotak amal yang disebar dan berbagai bentuk sumbangan-sumbangan melalui yayasan-yayasan yang mereka bentuk.

Semua jaringan terorisme di dunia ini, mulai dari organisasi teroris IRA di Irlandia Utara, Bask di Spanyol, Hamas di Palestina, Hizbullah, Al Qaeda, Jamaah Islamiah dan ISIS, rata-rata memiliki cacat mental yang akut.

Mereka meyakini bahwa Islam mencintai kematian demi jihad yang mulia. Mereka yang mati karena menghabisi nyawa orang-orang tak beriman dianggap martir dan memiliki peringkat tertinggi di sorga dan berhak mendapat jatah mengencani 72 bidadari di sorga.

BerbagaI aksi terorisme di Bali, Kedutaan Filipina, JW Marriot Jakarta, Kedubes Australia Jakarta, Sarinah, Solo, Makasar, dan berbagai tempat lain di Indonesia adalah serangkaian perjuangan sunnah para teroris yang mencintai kekerasan dengan menggunakan dalil Alquran sebagai bingkai perjuangan mereka.

Mereka meyakini bahwa Al-Qur'an menjanjikan hadiah Ilahi bagi mereka yang mati berperang di jalan Allah dengan berpatokan pada sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya, pintu surga berada di bawah bayang-bayang pedang (al-Bukhari 4:73).

Namun mereka tak sadar bahwa mereka telah menipu diri sendiri akibat salah kaprah dalam akidah pemahaman agama, sehingga bikin susah orang banyak saja.

Sumber Utama : https://seword.com/umum/anwar-abbas-dalam-pusaran-jaringan-terorisme-KiDGPrBHRF

Mewaspadai Generasi Baru Ibnu Muljam

Diterbitkan tanggal 30 Januari 2018

Oleh: Abdul Ghofur, S.Pd.I.
(Staf Akademik FITK IAIN Surakarta)


(ilustrasi: metroislam.com)

Masih segar dalam ingatan, kasus penganiayaan yang beberapa waktu lalu (27/01) menimpa salah satu ulama K.H. Umar Basri, pengasuh pondok pesantren Al-Hidayah, Cicalengka, Bandung, Jawa Barat. Dengan tanpa ampun pelaku memukuli dan menghajar Ceng Emon (sapaan akrab K.H. Umar Basri) ketika tengah khusyuk membaca wirid setelah salat subuh. Motif apa gerangan si pelaku yang begitu tega menganiaya seorang kiai yang sudah sepuh, yang seharusnya ditakdimi karena keluasan dan kedalaman ilmu-ilmunya. Sungguh kebiadaban yang jauh dari norma agama dan nilai-nilai luhur kemanusiaan.

Tragedi di atas mengingatkan kita kepada sosok khulafaur rasyidin yang keempat, khalifah Ali bin Abi Thalib, bagaimana beliau direnggut nyawanya tanpa haq oleh sosok seorang muslim juga yang dikenal dengan nama Ibnu Muljam. Hampir persis kejadian terjadi pada waktu kisaran salat subuh. Lalu apakah ini pertanda telah lahir kembali generasi baru Ibnu Muljam dengan terang-terangan? Generasi yang akrab dengan kekerasan dan mudah mengkafirkan (takfir), meski juga mempelajari ayat suci Al-Quran dan menelaah hadits?

Mengenal Sosok Ibnu Muljam

Seperti dilansir islami.co nama lengkap Ibnu Muljam adalah Abdurrahman bin ‘Amr bin Muljam al-Muradi. Tanggal dan tahun lahirnya tidak diketahui, namun dalam kitab al-A’lam karya al-Zarakly disebutkan bahwa ia pernah bertemu dengan masa-masa jahiliyah dan berhijrah pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab. Ia juga merupakan salah satu orang yang mengikuti pembebasan Mesir (Fath Misra) dan setelah itu ia menetap di sana. Diceritakan oleh Syamsuddin ad-Dzahabi (748 H) dalam kitabnya Tarikhul Islam wa Wafayati Masyahiril A’lam bahwa Ibnu Muljam merupakan sosok ahli Al-Quran dan ahli fikih. Selain itu, ia merupakan orang yang gemar beribadah.

Semasa pemerintahan Amirul Mukminin, Umar bin Khattab, Ibnu Muljam merupakan seseorang yang sangat istimewa. Pasalnya, ia diberi kepercayaan oleh Umar bin Khattab untuk mengajar Al-Quran di masjid. Bahkan, agar memudahkan ia mengajar Al-Quran, Umar bin Khattab memerintahkan Amr bin Ash untuk memperluas rumah Ibnu Muljam agar lebih dekat ke masjid agar ia mengajar Al-Quran dan fikih di sana. Rumah Ibnu Muljam juga dekat dengan Abdurrahman bin Udais al-Balawi, yakni orang yang nantinya termasuk otak pembunuhan Utsman bin Affan.

Ibnu Muljam sebenarnya adalah sosok pendukung khalifah Ali bin Abi Thalib. Sikap politiknya yang berbeda ketika terjadi perang Shiffin yang mengawali ketidakberpihakannya. Berawal dari Perang Shiffin, perang antara pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah pada tahun 37 H/ 648 M. Ketika kelompok Ali hampir menang, Muawiyah menawarkan perundingan (tahkim) sebagai penyelesaian permusuhan. Ali menerima tawaran Muawiyah, sehingga menyebabkan 4000 pengikutnya memisahkan diri dan membentuk kelompok baru yang dikenal Khawarij (berasal dari kata kharaja artinya keluar/membelot) termasuk di dalamnya adalah Ibnu Muljam.

Khawarij menyatakan bahwa permusuhan harus diselesaikan dengan kehendak Tuhan, bukan perundingan (arbitrase). Mereka berpegang teguh dengan dalil “lā hukma illa Allah” (tidak ada hukum yang harus ditaati kecuali hukum Allah) yang digunakan untuk menolak kebijakan Ali. Karena melawan kehendak Tuhan, Khawarij kemudian mengkafirkan (takfir) kepada Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Khawarij juga mengkafirkan terhadap mayoritas umat muslim yang moderat dan menuduhnya sebagai pengecut. Pemikiran dan sikap keagamaan model Khawarij kemudian diteruskan oleh paham Wahabi di Arab Saudi pada abad Ke-12 H yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Dalam konteks Indonesia, paham berpikir radikal tersebut menjangkiti pola berpikir individual maupun beberapa organisasi keagamaan sehingga perlu diwaspadai. Layak diapresiasi apa yang dilakukan pemerintah dengan membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) beberapa waktu lalu, sebagai langkah melindungi warganya dari sikap keagamaan yang radikal.

Radikalisme Agama

Dalam bahasa Arab, radikalisme biasa disebut tathorruf lalu menjadi muthathorrifin, diartikan dengan istilah teror atau menciptakan bencana. Dominasi ini melahirkan berbagai macam fanatisme, mulai yang paling lunak sampai yang paling berat. Adapun yang paling berat disebut hizbul takfiriyyah, yaitu kelompok yang selalu mengatakan bahwa golongan di luar dirinya adalah kafir. Oleh karena itu, jika sudah kafir, semuanya menjadi halal, baik saudara, harta, maupun kehormatannya (Adon Nasrullah Jamaludin, 2015: 162).

Radikalisme agama dalam Islam umumnya muncul dari pemahaman yang sempit, tertutup, dan tekstual terhadap teks-teks Al-Quran dan Hadits. Kaum radikal selalu merasa sebagai kelompok yang paling memahami ajarah Tuhan. Karena itu, mereka dengan mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda dengan dirinya dan menganggapnya sebagai sesat. Rahimi Sabirin (2004: 5) menguraikan radikalisme adalah pemikiran atau sikap keagamaan yang ditandai: 1) sikap intoleransi, tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain, 2) sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri, menganggap orang lain salah, 3) sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan umat kebanyakan, dan 4) sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan. Adapun radikalisme terdiri dari dua wujud yaitu radikalisme dalam pikiran (fundamentalisme) dan radikalisme dalam tindakan (terorisme).

Menurut Mudofir (2014: 6) sejatinya agama adalah korban perkosaan dari para pemeluknya yang secara eksklusif dijadikan instrumen pembenaran atas aksi-aksi kekerasan. Prinsip toleransi, menghargai perbedaan, hidup dalam kebersamaan, menyantuni orang miskin, menciptakan perdamaian, bertindak adil, dan menghormati HAM hampir selalu dikesampingkan. Dampaknya agama dianggap sebagai simbol perlawanan tanpa syarat terhadap hegemoni kelompok atau peradaban tertentu, seperti modernisme dan kapitalisme. Radikalisme agama yang memiliki tafsir-tafsir keagamaan eksklusif dan terlalu harfiah hanya menonjolkan penggunaan teori konspirasi. Sebuah teori yang dasar asumsinya melihat dunia dalam kerangka dikotomi tajam antara “kami” dan “mereka”. Dengan bayang-bayang imajinasi yang nampak mengancam, “kami” harus memusnahkan “mereka” atau sebaliknya.

Islam Rahmatan Lil-Alamin Sebagai Jawaban

Islam datang untuk membangun masyarakat yang adil dan beradab. Islam adalah agama kasih sayang dan menebarkan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil-‘alamin), kiranya pendekatan ini akan mampu memberikan solusi jangka panjang sebagai alternatif bagi permasalahan radikalisme. Kata rahmatan lil-‘alamin terambil dari ayat Al-Quran surat Al-Anbiya’ (21): 107 yang artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil-‘alamin).”

Dilihat secara tekstual kata rahmah sudah dengan jelas menggambarkan watak anti-kekerasan dan sebaliknya mendorong kebaikan-kebaikan menyeluruh kepada sesama manusia dan kepada seluruh alam sebagaimana terintegrasi dalam gabungan rahmatan lil-‘alamin. Rahmat bagi seluruh alam memiliki implikasi sosial, budaya, dan politik yang penting. Tujuan dari kata ini adalah terciptanya harmoni antara Allah, alam, dan manusia.

Mudofir (2014: 11) menawarkan apa yang disebut teologi rahmatan lil-‘alamin sebagai solusi semakin merebaknya aksi-aksi radikalisme. Dengan merujuk pada QS. Al-Anbiya’ (21): 107 di atas, teologi rahmatan lil-‘alamin dapat diartikan sebagai teologi yang menekankan perdamaian, cinta kasih atau rahmah, terbuka, dan tanggung jawab untuk mewujudkan kebaikan-kebaikan untuk semua terlepas dari asal-usul ras, bangsa, dan agama. Melalui definisi tersebut bertujuan memberikan titik-titik tekan pada bentuk cinta kasih pada semua ras manusia maupun ras non-manusia.

Karena itu, teologi rahmatan lil-‘alamin menolak segala bentuk kekerasan dan pemaksaan kehendak untuk tujuan agar mereka atau orang lain mengikuti agama atau keyakinan. Sebaliknya, umat Islam harus menjadi pilar perdamaian, persaudaraan, dan penciptaan bentuk-bentuk kerjasama global untuk mengatasi atau memecahkan isu-isu yang lebih strategis seperti kemiskinan, bencana, krisis lingkungan, krisis moral, dan meluasnya endemi penyakit berbahaya (demam berdarah, flu burung, dan AIDS). Teologi rahmatan lil-‘alamin mengabdi pada terwujudnya cinta kasih yang menyebar pada sebanyak-banyaknya umat manusia dan umat non-manusia di muka bumi.

Melalui konsep teologi Islam rahmatan lil-‘alamin dapat dirumuskan prinsip-prinsip dalam mewujudkan masyarakat adil dan toleran. Rahimi Sabirin (2004: 13-17) menguraikan tiga prinsip dasar yang menjadi tujuan utama ajaran Islam dalam membangun masyarakat. Pertama, prinsip persamaan (al-musawah). Islam secara tegas memproklamirkan bahwa semua manusia diciptakan sama (all men are created equal) dan karenanya semua berkedudukan sama di depan Tuhan (all men are equal before God). Orang yang paling mulia di sisi Tuhan (Allah) adalah orang yang paling bertakwa (QS. Al-Hujurat: 13).

Kedua, prinsip kebebasan (al-hurriyah). Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan, baik kebebasan beragama maupun kebebasan sosial dan politik. Kebebasan merupakan sesuatu yang melekat dalam penciptaan manusia. Melalui kebebasan manusia sebagai khalifah di bumi menjadikannya berdaulat dan bermartabat. Terkait kebebasan beragama, dalam Al-Qur’an dijelaskan tidak ada paksaan dalam beragama, sudah jelas mana yang benar daripada jalan yang salah (QS. Al-Baqarah: 256). Ketiga, prinsip keadilan (al-‘adalah). Keharusan untuk berbuat kasih dan adil dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa jangan sekali-kali kebencian terhadap suatu kaum mendorong tindakan untuk berbuat tidak adil, berbuat adil merupakan tindakan yang dekat dengan ketakwaan (QS. Al-Maidah: 8).

Ketiga prinsip di atas menunjukkan bahwa manusia itu pada hakikatnya adalah sama. Perbedaan penafsiran terhadap teks-teks Al-Quran dan Hadits merupakan sunnatullah, sesuatu yang sengaja diciptakan Allah sebagai hukum alam. Hikmah diciptakannya perbedaan itu adalah agar semua saling mengenal dan saling belajar, sehingga saling berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Melalui prinsip-prinsip di atas diikhtiarkan mampu terbentuk tatanan masyarakat yang aman dan tenteram serta terminimalisir dari berbagai tindakan kekerasan.

Kejadian yang menimpa K.H. Umar Basri meskipun masih dalam proses penyelidikan motif apa sebenarnya yang melatarbelakangi, terlepas dari motif gangguan jiwa atau lainnya, layak menjadi pembelajaran bagi semua pihak. Pada titik ini, umat Islam perlu selalu waspada, dikarenakan ulama adalah pewaris para Nabi, sehingga jangan sampai menjadi korban keganasan sejarah yang terulang, yang bisa jadi adalah generasi baru Ibnu Muljam, generasi neo-khawarij yang militan berbekal pemahaman agama tekstual dan tampilan yang syari’, namun dengan mudah membid’ahkan atau mengkafirkan orang-orang di luar dirinya. Bermodalkan teks Al-Quran dan Hadits, vonis sesat dan kafir begitu mudah terlontar dari mulut mereka.

Maka dari itu diperlukan komitmen semua pihak, terutama ulama dan umaro’ untuk membentengi umat Islam dari paham keagamaan yang radikal dan destruktif warisan Ibnu Muljam dan kawan-kawannya. Juga bersama-sama seluruh lapisan masyarakat, utamanya lembaga pendidikan untuk dikampanyekan Islam yang ramah, Islam yang rahmatan lil-‘alamin, rahmat bagi semesta alam. Sehingga terwujud tatanan masyarakat yang aman, tenteram, dan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr. Semoga. Wallahu A’lam.

Sumber Utama : https://iain-surakarta.ac.id/mewaspadai-generasi-baru-ibnu-muljam/

Densus Gaya Baru, Langkah Memutus Jaringan Pendanaan Teroris

Ketika ada dua anggota MUI ditangkap densus karena terlibat dalam jaringan teroris internasional, memang agak mengejutkan. Karena MUI ini kan majelis ulama Indonesia. Yang bukan ulama pun kalau masuk MUI jadi otomatis ulama. Tapi sekarang mereka tertangkap terlibat dalam kasus jaringan teroris internasional.

Wajar kalau kemudian muncul tuntutan pembubaran MUI. Tuntutan ini muncul dari kekecewaaan yang sangat besar kepada MUI, karena punya anggota yang ternyata bagia dari kelompok teroris.

Tapi Anwar Abbas dengan jurus mabuknya, membela. Kalau MUI dibubarkan, maka Republik ini juga harus bubar, katanya. Karena tidak bisa menjaga negara dan membiarkan teroris masuk menyusup. Hahaha benar-benar logika yang ajaib. Seajaib majelis ulama yang isinya teroris.

Ketika PKS dan Anwar Abbas sibuk membela teman-temannya yang terlibat dalam organisasi teroris, Polisi sedikit memberikan bocoran. Bahwa penangkapan Farid Okbah ini berdasarkan keterangan dari 28 BAP tersangka teroris yang sudah lebih dulu ditangkap.

Artinya, penangkapan ini sulit disangkal dan rasanya mustahil berharap Farid Okbah dan kawan-kawan akan bebas dengan cepat.

Yang menarik dari pernyataan Polisi bagi saya adalah soal 28 BAP. Dari pengakuan tersangka yang sebanyak itu, mustahil yang muncul ke permukaan dan kemudian ditangkap hanya 3 orang.

Pasti ada nama-nama lain, yang bisa jadi juga adalah anggota MUI lainnya. Dan keterangan Farid Okbah serta Zain Annajah nantinya akan melengkapi, menyempurnakan bagi aksi penangkapan selanjutnya. Saya pikir Anwar Abbas layak juga untuk dicurigai, saya prediksi dia juga akan ditangkap setelah ini.

Karena rasanya mustahil dalam sebuah organisasi seperti MUI, yang terlibat jaringan teroris cuma dua orang. Masa yang lain ga terlibat? Lah wong kalau ceramah sama kerasnya, sama intolerannya.

Jika melihat dari sekian banyak berita dan pernyataan Polisi, penangkapan ini juga terkait dengan jaringan kotak amal. Yang sebelumnya juga sudah banyak disita oleh Densus 88. Dan dari sini, saya juga sangat yakin nama-nama yang muncul juga pasti banyak.

Sampai di sini, pembelaan yang coba disampaikan ke publik nyaris tak bisa diterima sama sekali. Rakyat lebih percaya pada Densus 88, karena ancaman bom bunuh diri dan penyerangan terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Jadi percuma saja misalkan PKS mengklaim bahwa Farid Okbah bukan takfiri, karena di banyak ceramahnya, mudah saja kita temukan pernyataan-pernyataan yang mengarah pada takfiri.

Jika melihat pola penangkapan yang belakangan dilakukan oleh Densus, nampaknya fokus penanganan terorisme di Indonesia jadi sedikit bergeser.

Sebelumnya, penangkapan selalu dilakukan pada pihak-pihak yang berencana melakukan amaliah. Atau penangkapan dilakukan pada orang yang sudah melakukan training perakitan bom. Ditemukan bahan-bahan peledak di rumahnya dan ideologi jihad pengrusakan.

Sekarang, Polri lebih maju. Yang diberantas adalah jaringan pendanaannya. Makanya kemudian yang diamankan adalah kotak amal.

Farid Okbah dan Zain Annajah bisa jadi tidak bisa merakit bom. Pun mungkin dia belum pernah melakukan training penyerangan. Tapi mereka jelas terkait soal pendanaan dan jaringan kotak amal yang belakangan disita oleh Densus 88.

Mungkin Polri sudah belajar dari penanganan FPI. Saat rekening mereka diblokir, praktis pergerakan dan jumlah demonstran yang datang jadi semakin berkurang. Atau bahkan katakanlah tidak ada.

Seperti sekarang misalnya. Mau seprovokatif apapun berita soal Rizieq, yang diklaim ditahan di bawah tanah oleh Haikal Hassan, relatif tidak mampu menimbulkan perlawanan dari kubu pecinta Rizieq yang dulu diklaim mencapai 7 juta orang.

Bahkan di sosial media pun, isu tersebut tak mampu dimainkan. Karena orang sudah muak, jaringan pendanaan untuk para buzzer nya pun sudah terhenti sehingga kalaupun ada pembelaan, itu hanya satu dua akun yang memang membela karena alasan ideologi.

Untuk hal ini saya acungi jempol kepada Polri yang sudah mulai lebih maju dalam pemberantasan terorisme di Indonesia. Tidak menunggu bom meledak, tidak menunggu ada latihan perakitan bom. Asal jelas ada sumber dan aliran dananya, tangkap dan langsung tahan.

Karena Indonesia akan menjadi tuan rumah G20 dan jelas tak boleh ada kesalahan sedikitpun terkait terorisme ini. Jangan sampai Indonesia malu di muka internasional.

Sumber Utama : https://seword.com/umum/densus-gaya-baru-langkah-memutus-jaringan-Cs8xqm7ewd

Ingat HS, Ingat Abdurrahman bin Muljam

Sumber: https://nu.or.id/esai/ingat-hs-ingat-abdurrahman-bin-muljam-te4hdOleh Abdullah Alawi  Pada beberapa kesempatan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj kerap menceritakan tentang perilaku seseorang yang hafal Al-Qur’an, tapi tidak memahaminya. Ia mencontohkan, pada zaman Nabi Muhammad, setelah perang Hunain, umat Islam mendapat harta rampasan (ghanimah). Namun, saat itu Nabi Muhammad membaginya dengan cara tidak biasa. Para sahabat senior tidak mendapat bagian. Hanya para muallaf (orang yang baru masuk Islam) yang mendapatkannya.  Pembagian yang dilakukan Nabi tersebut, meski tidak dipahami sahabat, mereka memilih diam karena semua tahu itu perintah Allah subhanahu wata'ala. Nabi selalu dibimbing wahyu dalam tindakannya.  Namun, tak dinyana, ada orang yang maju ke depan melakukan protes. Sahabat tersebut, perawakannya kurus, jenggot panjang, jidatnya hitam, namanya Dzil Khuwaisir.  “I’dil (berlaku adillah) ya Muhammad, bagi-bagi yang adil Muhammad,” begitu kira-kira protesnya.   “Celakalah kamu. Yang saya lakukan itu diperintahkan Allah,” tegas Nabi Muhammad.  Orang itu kemudian pergi.  Nabi Muhammad mengatakan, nanti dari umatku ada orang seperti itu. Dia bisa membaca Al-Qur’an, tapi tidak tidak paham. Hanya di bibir dan tenggorokan.  “Saya tidak termasuk mereka. Mereka tidak termasuk saya,” ungkap Nabi Muhammad. Tahun 40 H Sayiydina Ali bi Abi Thalib dibunuh karena dianggap kafir. Pasalnya Ali dalam menjalankan pemerintahannya tidak dengan hukum Islam, tapi hukum musyawarah. Sang pembunuh menggunakan ayat “wa man lam yahkum bi ma anzalallahu fahuwa kafirun” sebagai sandaran perbuatannya.   Ironisnya, pembunuhan itu terjadi pada bulan puasa saat seharusnya, pada siang hari, makan dan minum saja tidak dilakukan, apalagi membunuh.  Siapakah pembunuh itu? Ia bukan oleh orang kafir, melainkan orang Muslim, namanya Abdurrahman bin Muljam At-Tamimi, dari suku Tamimi. Pembunuh itu ahli tahajud, puasa, dan penghafal Al-Qur’an. Ia adalah orang yang memahami ayat Al-Qur’an dengan cara salah. Sayidina Ali, sahabat dan sekaligus menantu Nabi Muhammad yang termasuk kalangan pertama memeluk Islam, dianggap kafir karena dianggap tidak menggunakan hukum Allah berdasarkan ayat Al-Qur’an. Darah pun terkucur.   *** Nuansa politik Indonesia pasca pemilihan umum masih mewarnai meski di bulan Ramadhan. Mungkin benar apa yang dikatakan seorang kawan saya, Ramadhan ya Ramadhan, masalah politik lain lagi. Puasa ya puasa, tensi meraih kekuasaan dengan berbagai cara tak perlu turun sebab keduanya tidak berhubungan.    Kita menyaksikan, satu pihak mengklaim menemukan bukti bahwa pihak lain melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Karenanya, menurut pihak yang mengklaim tersebut, pihak yang curang itu harus didiskualifikasi. Di sisi lain, mereka memiliki punya data sendiri tentang jumlah suara yang mereka raih.  Lalu, selentingan kabar, jika klaim mereka tak diindahkan, people power pun konon akan dilakukan. Mereka tidak main-main, aski massa di Bawaslu seminggu lalu sudah dimulai. Saya tidak hadir pada aksi massa itu. Namun, tiba-tiba seorang pemuda berusia 25 tahun menjadi terkenal di media sosial. Dia berinisial HS. Isunya sendiri bahkan saya sendiri tidak tahu. HS justru mendapat liputan dari banyak media. Pasalnya, pada aksi massa tersebut, HS mengancam akan memenggal kepala presiden.  Mari kita periksa kata tersebut melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia. Karena kamus dalam bentuk cetak saya tidak punya, maka beralihlah ke daring. Begini:    Penggal: potong; kerat; tebas: -- saja leher pembunuh itu; 2 n bagian dari buku (kutipan cerita dan sebagainya); Penggal adalah kata benda sementara memenggal kata kerja. Mari kita buka KBBI daring lagi: Memenggal/me•meng•gal/ v 1 memotong; mengerat; 2 menetak (kepala); 3 membagi (kata, kalimat, berita, dan sebagainya);~ leher ki menghilangkan kesempatan orang untuk mendapatkan penghidupan; ~ lidah ki memutus orang berkata-kata; memotong pembicaraan orang; Jadi, jika dia mengatakan hal itu, secara tersurat memang jelas pemuda tersebut ingin memenggal, memisahkan sesuatu dari sesuatu yang lainnya. Kalau yang dipisahkan itu sepotong bambu mungkin tak masalah. Pasalnya yang akan dipenggal itu adalah kepala seseorang. Dan kepala itu tiada lain adalah kepala negara. Bayangkan kepala!  Sebagaimana kasus-kasus lain, seseorang yang tidak terkenal itu menghiasi media sosial. Para warganet ingin mengetahui seluk-beluk kehidupannya. Mulai pekerjaannya, pendidikannya, hingga kehidupan pribadi dan ibadahnya. Muncullah dalam suatu media daring ada berita yang menyebutkan bahwa dia adalah seorang yang rajin shalat.  Kok bisa? Ya bisa saja. orang yang membunuh Ali bin Abi Thalib juga adalah seorang yang ahli ibadah. Bahkan ada yang bilang dia hafal Al-Qur’an. Kok bisa? Ya, bisa karena bacaan tersebut tidak meresap di dalam dirinya. Dalam ungkapan lain, dia adalah seorang yang hafalannya sampai kepada tenggorokan. Bukankah shalat itu seharusnya mencegah perbuatan keji dan munkar? Penulis adalah Nahdliyin tinggal di Bandung
Sumber Utama: https://nu.or.id/esai/ingat-hs-ingat-abdurrahman-bin-muljam-te4hd

Tangkap Terduga Teroris, Densus 88 sedang "Bersihkan Nama Baik" Ulama di Negeri Ini

Berita ditangkapnya tiga tokoh penting, semuanya "orang pinter" kalau melihat titel dan pengaruh mereka di pemberitaan, mengejutkan banyak pihak. Kecuali yang tidak terkejut, ya biasa saja karena bisa dibilang semua itu hanyalah perkara waktu.

Begitu pula dengan adanya "orang MUI" di antara ketiga tokoh yang ditangkap itu, juga hanya perkara waktu jika kita mengingat komposisi pengurus elit di tubuh LSM tersebut.

Pagi ini saya pun melihat ulasan khas Ade Armando di CokroTV soal dimulainya "serangan balik" yang mulai dilakukan oleh kelompok yang terkait ketiga tokoh tadi. Tuduhannya seperti biasa terkesan ngawur, tak berdasar, dan mudah sekali dipatahkan narasinya ... terkait tuduhan bahwa Densus 88 melanggar HAM dalam aksi penangkapan para terduga kasus terorisme itu.

Dalam tayangan "Polisi Difitnah Melanggar HAM dalam Penangkapan Farid Okbah" juga sudah dijelaskan oleh Bang Ade Armando bahwa penangkapan itu sudah sesuai prosedur hukum dan sama sekali tidak ada HAM yang dilanggar. Polisi bahkan memberi kesempatan bagi para istri dari ketiga terduga aksi terorisme itu buat berpakaian dan menutupi aurat dalam penangkapan yang juga disertai banyak saksi, termasuk mengajak Polwan, dengan rekaman bukti penangkapan yang bisa dipakai sebagai "senjata" pembelaan bagi polisi jika seandainya penangkapan itu berbuntut panjang sampai ke urusan pengadilan.

Selain tuduhan keji bahwa polisi disebut melanggar HAM, tudingan bahwa aparat berwajib di negeri ini melakukan kriminalisasi ulama hampir pasti akan dipakai sebagai alat untuk membangkitkan kemarahan pendukung dari kelompok yang sebarisan dengan ketiga tokoh yang ditangkap itu.

Tuduhan yang mirip seperti yang dilontarkan selama ini setiap kali ada sosok berlabel ulama, berpenampilan seperti ulama, atau yang kebetulan kali ini menjadi pengurus dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Meski soal tudingan itu sudah banyak dilakukan bantahan, klarifikasi, hingga sindiran ... yang salah satunya berkata agar jangan ada yang "mengulamakan kriminal" sebagai kontra opini dari "kriminalisasi ulama" tadi, masih dipakainya tuduhan itu saja menunjukkan bahwa cara itu masih efektif buat memprovokasi umat Islam di negeri ini yang memang seharusnya menjunjung tinggi dan memuliakan ulama.

Padahal kalau dipikir lagi, tentu dengan logika dan akal sehat, tuduhan adanya kriminalisasi ulama itu keliru besar. Justru dengan tindakan penangkapan terduga teroris yang kebetulan dikenal sebagai pemimpin umat itu, Densus 88 justru sedang membantu membersihkan nama dan citra ulama di masyarakat.

Tindakan Densus 88 itu justru sangat baik, seperti menyaring dan memisahkan sesuatu dari hal-hal yang selama ini dapat mengotori atau mencemari yang seharusnya bersih itu. Bagi lembaga MUI sendiri, sebenarnya ada peluang bagus yang bisa mereka ambil untuk "membersihkan diri" sekaligus memulihkan citra MUI yang selama ini mulai banyak kesan negatifnya, karena tak jarang elit MUI "terlalu banyak cakap" bahkan mulai terlibat urusan politik, jauh dari tugas dan wewenang MUI.

Cuma, kalau momen bagus untuk membersihkan diri itu ditolak, dengan misalnya menyangkal peran pengurus MUI yang tertangkap Densus 88 atau membela dengan membabi buta (ups, kok ada kata babi-nya?) ... maka ya sudah, sebaiknya MUI dibubarkan saja atau sekalian dinyatakan sebagai organisasi terlarang di negeri ini.


Jadi akhirnya, semua kembali pada kejernihan berpikir dan logika seperti apa yang dipakai. Tentu akan ada pihak yang tak pandai membuat pilihan dalam perkara penangkapan tiga terduga aksi terorisme ini, lalu tetap menganggap mereka tak bersalah dan hanya dikriminalisasi oleh rezim Jokowi ini.

Namun, bagi yang berlogika sehat, lalu mampu merespons dengan tepat, niscaya kelak mereka akan bersyukur karena Densus 88 telah bekerja dengan sangat baik dengan memisahkan "kekotoran" dalam diri kelompok ahli agama yang disebut "ulama" itu, sehingga yang kelak hadir di masyarakat adalah ulama yang benar-benar ulama, dengan ilmu agama yang tinggi, mampu mengajar dan memberi teladan, dan tentu saja tidak melibatkan diri dalam amsegala bentuk kegiatan yang mengarah pada aksi terorisme.

Ulama yang begini, rasanya saya pun bersedia duduk mendengarkan ceramah atau petuah-petuahnya, karena ilmu yang mereka bagikan pasti berguna bagi siapa saja yang mendengarnya.

Sumber Utama : https://seword.com/politik/tangkap-terduga-teroris-densus-88-sedang-g37NGAXXU8

Tiga Pelajaran dari Tarikh, Waspadai Generasi Ibnu Muljam

Masjid Ali bin Abi Thalib di Madinah. (Foto: Istimewa)
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya