» » » » » » Vocalis Band Payung Teduh M. Istiqamah Djamad alias Is yang tenar bersama Lagu AKAD "Hengkang" dari grup bandnya alasannya ini

Vocalis Band Payung Teduh M. Istiqamah Djamad alias Is yang tenar bersama Lagu AKAD "Hengkang" dari grup bandnya alasannya ini

Penulis By on Kamis, 16 November 2017 | No comments

Mundur dari Payung Teduh, Is: “Saya Enggak Egois”

Vokalis Payung Teduh membeberkan alasan ia memilih keluar dari bandnya

Kabar mengejutkan datang seusai konser Liztomania yang menampilkan Payung Teduh tadi malam (14/11) di Gedung Kesenian Jakarta. Band yang besar dari Universitas Indonesia ini dikabarkan akan kehilangan sang vokalis yang menyatakan pamit. Sebenarnya gelagat ini sudah tercium sejak seminggu belakangan karena foto Instagram Is sang vokalis yang memuat caption berbau perpisahan.


Selama beberapa tahun terakhir, Payung Teduh merupakan salah satu band dengan jadwal paling intens. Penampilan panggung mereka diminati oleh masyarakat di segala penjuru Indonesia. Dalam sebulan mereka bisa bermain di lebih dari lima belas panggung. Dengan dirilisnya lagu "Akad", permintaan untuk Payung Teduh semakin meningkat. Hal ini kemudian malah menjadi bumerang bagi band. Terutama akibat kelelahan dan kurangnya komunikasi.
Keadaan ini sebenarnya sudah disadari personel lain sejak lama. Dalam wawancara terpisah dengan Rolling Stone, pemain bas Comi menyatakan kalau Payung Teduh memang butuh break. "Nggak sehat, tiap akhir pekan kecapekan terus. Kurang tidur. Gig sudah dikurangin. Rezeki juga cobaan. Bijaknya mungkin jangan terlalu banyak. Atau mungkin ada saatnya. Maksimalin staminanya. Kami berterima kasih untuk teman-teman yang selalu mengundang. Tapi mungkin harus lebih bijak," jelasnya. "Harus istirahat. Sudah tiga-empat tahun hidup di jalan."
Sedangkan Alejandro Saksakame atau biasa dipanggil Cito menjelaskan kalau ia juga menyadari lelah. "Excitement berkurang. Dulu asyik ke bandara, ketemu teman-teman pagi. Sekarang kayak, 'Aduh, besok berangkat.' Waktunya jadi buat istirahat," ujarnya. Ia juga menjelaskan kalau teman dekatnya, Is, yang sudah dikenalnya sejak 2002 sudah berubah. "Dulu dia itu komedian yang saya suka, sekarang sudah jarang ngobrol. Ketemu ya di panggung, di hotel, di bandara. Seiring pergaulannya."
Sebelum pernyataan mundurnya beredar di media, Rolling Stone Indonesia terlebih dahulu telah mewawancarai Is mengenai kehidupannya bersama Payung Teduh. Waktu diambil tepat sebelum konser yang berdurasi satu setengah jam berjalan. Dalam wawancara, Is mengungkapkan alasan utama kenapa ia memutuskan keluar. Ia juga memastikan akan tetap jalan bersama Payung Teduh sampai 31 Desember mendatang.
Payung Teduh sedang dipersiapkan untuk merilis album ketiga. Menyusul kesuksesan lagu "Akad" yang meledak di mana-mana, mereka akan melepas album di bulan Desember bersama KFC Music. Album yang berisikan sembilan lagu tersebut bisa jadi album terakhir Payung Teduh bersama Is.
Payung Teduh banyak dibicarakan karena lagu "Akad" populer. Bagaimana Anda menyikapi ketenarannya?
Is: "Akad" itu memang lagu bagus. Maksudnya begini, lagu yang bagus diterima orang banyak. Penolakannya paling karena ada di mana-mana. Lagu ini saya buat untuk menjawab tantangan teman-teman yang meminta saya membuat lagu yang bisa dinyanyikan semua orang tapi tetap dengan musik Payung Teduh. Saya bilang bisa. Salah satunya ya [topik] paling sensitif ya tentang mengajak menikah dan akhirnya saya bikin lagu tersebut. Lagu yang awalnya anak Payung Teduh nggak suka. Selain saya ya. Kalau sekarang suka, nggak tahu kenapa. Mereka bilang, "Kita mencetak prestasi di Spotify dan iTunes." Itu nggak penting. Yang penting adalah kami membereskan album sejak lama.
Bayangkan saja, lagu "Akad" itu lahir, diberesin, dikelarin karena tim video sudah syuting. Mereka memakai lagu mentahan. Karena saya masih nggak puas dengan terompet, dengan isian bas. Akhirnya saya yang main bas. Drum juga hampir saya yang mengisi. Malah album ini 95-98 persen saya yang bikin. Saya merasa Payung Teduh sudah saatnya mengeluarkan sesuatu.
Payung Teduh itu lucky bastard. Latihan nggak pernah, ngumpul nggak pernah. Bikin apa saja orang dengar. Sudah nggak punya lagu baru. Padahal sudah lama dikerjakan di studio, nggak dikeluarin saja. Bikin Live and Loud (album live Payung Teduh dengan tambahan orkestra) meledak juga. Bikin produk 500, laku sampai 700. Maksudnya, "Come on, guys." Ini saatnya. Kenapa saya malah jadi merasa alien sendiri? Manggung terus. Seperti ini, kalau nggak ada Liztomania kami nggak akan bikin konser. Padahal ini adalah hal yang saya rindukan sejak tiga tahun lalu. Kami harus menggelar konser tunggal dengan setiap lagunya dikonsep.
Malah dibikin oleh orang lain...
Iya. Orang lain malahan. Banyak statement yang menurut saya nggak sesuai keluarnya. Saya nggak minta break, saya mau keluar. Sudah nggak jelas juga.
Karena apa? Apa keresahan anda?
Saya sudah nggak main musik. Saya bekerja. Saya tahu saya butuh duit. Anak saya empat. But I wouldn"t trade my soul in musical with…. Saya terlihat capek, kan? Di momen saat ini harus dibawakan dengan spirit yang penuh tenaga. Istilahnya konser ini kamehame. Konser dibikin di sela-sela kesibukan kami, dipaksa. Nggak ada latihannya. Sama saja kayak panggung-panggung lain. Mas Ridho (Slank) masukin Monita, masukin Institut Musik Jalanan. Which did not come from the band. Shame on Payung Teduh. Shame on me. Ketika saya berteriak harus rajin ngumpul, latihan, segala macam. Hanya saya. Kalau nggak karena Live and Loud, kami nggak akan pernah latihan. Itu ketahuan katronya ketika ketemu orkestra. Malu banget.
Apalagi setelah lagu "Akad", harusnya tanggung jawab sebagai musisi ada. KTP-nya ya karya. Singkat kata begini, Payung Teduh mentalnya belum siap untuk seperti ini. Tapi mau dibilang terlalu cepat, nggak. Pertumbuhannya lambat. Kami nggak peduli teknik. Semangatnya beda. Nggak seperti dulu. Akarnya teater, udunan. Dari yang nggak ada ke ada. Kami perjuangkan. Intensitasnya tinggi. Bisa bikin lagu seperti Payung Teduh itu gila.
Nggak tercermin ya di band..
Album ketiga ini album yang paling saya suka, tapi juga saya benci. Materinya beragam sekali. Sangat tidak Payung Teduh. Tapi saya benci karena 90 persen lebih saya yang mengerjakan. Dan itu yang tidak sehat di band ini. Ya pastilah lampu sorot akan ke saya. Memangnya saya suka? Dari dulu saya bilang, samakan saja semua. Apresiasi band. Berapa pendapatannya, biar ada sense of belonging. Tapi mereka terbuai. Setiap saya bilang "Ayo begini", mereka bilang, "Nggak, begini saja bisa." Kegundahan saya adalah band ini akan hancur kalau begini terus. 15-17 kali sebulan, sama saya jalan sendiri bisa sampai 20. Itu nggak sehat. Saya nggak main teater lagi. Dua tahun lalu masih bisa lari-larian. Padahal kami dari sana. Momen kreasi itu identitasnya Payung Teduh. Kami menolak televisi. Kecuali seperti Tonight Show.
Apresiasi yang berlebih memengaruhi band?
Payung Teduh krisis mental dan kesadaran kalau kami sudah besar. Pendengar Payung Teduh itu berbeda. Mereka mendengarkan karya, tapi nggak tahu orangnya. Itu yang saya suka dari Payung Teduh. Kadang ada di satu tempat, mereka memutar Payung Teduh. Belakangan memang semakin ramai.
Payung Teduh jadi terlalu nyaman dengan siklus yang mereka alami. Manggung, mendapatkan duit. Itu berbahaya banget.
Apa yang berubah dari sebelumnya?
Saya jadi terlalu menikmati ini semua. Padahal saya tahu bagaimana menikmati kesempitan dan tetap produktif. Tetap lebih bijak malah. Sekarang lebih mudah untuk memuaskan diri sendiri. Saya mau menyelamatkan persahabatan kami, but for musical journey this is the end. Komunikasi hancur.
Cito (drummer) bilang komunikasi hanya di bandara, di hotel, di panggung.
Ya. Itu omongan saya. Mereka cuma mengulang. Ngomong di bandara, di lobi hotel. Yang diomongin apa? Yang lain malah. Karya mana. Mereka entah di mana ketika saya ngejoprak di studio. Saya suruh rekaman. Sampai studio bertanya, "Itu chord-nya bagaimana?" Damn. It broke my heart. Tapi saya nggak benci. Saya benci kenapa harus begini sekarang.
Saya memilih keluar. Bertahan sampai 31 Desember untuk menghormati kontrak. Sejak Juni saya sudah mengumumkan keluar. Mulainya dari dua tahun lalu. Terlalu sibuk band ini.
Di dalam band ada orang lainkah? Manajemen?
Ada. Membantu mencari panggung. Awalnya saya yang memanajeri Payung Teduh. Di dalamnya tidak di-manage dengan baik.
Liburan terakhir kapan?
Nggak pernah. Dibikin kalau pun ada. Capek banget. Menangis saya. Susah mendapatkan restu dari keluarga. Menjalankannya lelah. Kami diperbudak sama yang namanya manggung. Nanti orang tanya, "Lah, itu jalan sendiri?" Beda. Ketika saya jalan sendiri. Saya minta sama EO ini itu. Bukan datang, main, jebret, pulang. "Lah, memang apalagi? Bukannya ini mimpinya musisi?" Saya nggak, nggak kayak begitu. Akar saya bukan di sini awalnya.
'Duit bagaimana dong duit?' Saya dari dulu nggak pernah tuh bikin Payung Teduh gratis. Payung Teduh belum dikenal orang. Harganya satu setengah juta. Harus dibayar. Tapi akhirnya rutinitas ini bikin kami nggak produktif, karena terlalu nyaman dan terlalu suka dengan yang namanya manggung. "Lah senang dong?" Demi Allah, naudzubillahminzalik. Saya nggak mau dibilang kufur nikmat. Justru ini remnya. Biar kami nggak kebablasan untuk terjebak di situ.
Payung Teduh dijadwalkan melepas album di KFC. Setelah rilis album Anda resmi berpisah?
Assalamualaikum. Bye bye. I think it"s a good time. Mantaplah untuk saya keluar. Dua orang masih mau jalan. Yang satu nggak tahu. Mereka labil banget. Silakan kalau mereka mau jalan. I live my legacy. With KFC. Good number. "Steve (Lillywhite, CEO Jagonya Sports & Music, perusahaan rekaman milik KFC), lagunya nggak diatur kan?" "Nggak." Pemilihan lagu nggak kan? Mau masukin instrumen aja nggak kan? Ternyata nggak. Oke, saya mau sama KFC. Kenapa nggak? Ketika mereka menyebutkan beratus ribu keping untuk diedarkan. Music for all. Saya nggak akan men-judge sistem pemasarannya. Saya nggak mau tahu. Yang penting mereka membantu dulu. It"s my promise to finish the third album.
Habis ini apa yang akan dilakukan? Diam dulu atau mau berkarya lagi?
Saya akan balik ke roots saya zaman dulu. Apa pun yang terjadi saya biarin mengalir. Kalau pun toh saya berproduksi, saya belajar banyak dari pengalaman ini. Mungkin nggak seberhasil Payung Teduh, tapi saya nggak peduli. Yang penting adalah berkarya. Bisa juga jalan sendiri. Habis ini Subuh saya pergi ke Kendari. Nggak sama Payung Teduh, sendiri saja. Konser itu harusnya selalu segar. Nanti saya ajak saja siapa, mas Eugene Bounty buat main klarinet atau saxophone. Live music harusnya begitu. Di konser ini pakai sequencer.
Oke habis manggung, di hotel ya dibicarakan. Nggak bakal bisa. Yang namanya komunikasi itu waktu yang luang diciptakan, bukan disempilkan di tengah kesibukan. Besoknya lupa. Ini bukan cuma tanggung jawab ke orang, tapi tanggung jawab ke sendiri bikin karya. Itu kegundahan saya. Demi menyelamatkan pertemanan yang sudah saya bangun belasan tahun lalu.
Tapi itu kerennya Payung Teduh, di luar orang melihatnya baik-baik saja. Tiga album begini. Nggak sehat. Band itu harusnya ada ikatan. Bukan cuma saya jadi leader terus mereka mengikuti. Menurut mereka, mereka lagi main-main. Payung Teduh lepaskan saja ini. Dari teater kampus sampai follower di media sosial ampun-ampunan. Saya nggak siap. Manggung dengan band yang saya elu-elukan, tapi setelah saya turun panggung sepi. Anak-anak kayaknya senang. Ah, nggak nih. Terlalu cepat kami ini. Kurang terjal batunya. Mungkin kami harus lapar bersama-sama. Supaya kami bisa berpikir. Untuk survive, memanjat lagi. Dipendam sedalam-dalam mungkin. Dan kali ini kami nggak boleh memanjat satu tangga saja, kami bikin tangga masing-masing. Kami panjat lewat pengalaman yang kami punya sekarang.
Masa band sudah sampai segini ditinggal. "Gampang dong buat Anda." Saya nggak peduli apa kata orang. Yang saya peduli band ini harus dewasa. Kalau cuma sekadar ingin berada di band tenar, cari saja produser atau arranger. Nggak tahu ya rezekinya seperti apa. Tapi bisa kan melakukan itu.
Ini bukan sesuatu yang egois?
Saya nggak egois. Yang egois itu saya paksa band ini jalan. Yang lain menunduk. Bayaran sekian, aman. Ini justru saya sayang banget sama semua orang. Dan saya kaget banget sama Payung Lipat, tim produksi Payung Teduh. Mereka mau mendukung.
Ngobrol saja nggak ada. Makan, bungkus, taruh masing-masing di kamar hotel. Ada apa dengan makan bareng di meja makan, bicara tentang kegilaan. Saya dulu ngamen bareng waktu susah, sekarang makan di hotel terpisah.
M. Istiqamah Djamad alias Is. Alvin Eka Putra

Sumber Berita : http://rollingstone.co.id/article/read/2017/11/15/140514498/1093/mundur-dari-payung-teduh-is-saya-enggak-egois-?src=ep

Re-Post by http://migoberita.blogspot.co.id/ Kamis/16112017/17.33Wita/Bjm 
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
:)
:(
=(
^_^
:D
=D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p